Peneliti IPB: Kondisi Mikrobiologis Alat Pernafasan Lumba-lumba

Jumat, 02 Februari 2018, 09:45 WIB

Lumba-lumba hidung botol (bottlenose dolphin) adalah spesies lumba-lumba yang paling umum dan paling dikenal orang. | Sumber Foto:Humas IPB

AGRONET - Lumba-lumba hidung botol (bottlenose dolphin) adalah spesies lumba-lumba yang paling umum dan paling dikenal orang. Habitatnya berada di perairan hangat di seluruh dunia dan dapat ditemui di hampir seluruh perairan kecuali Samudra Antartika. Gangguan sistem respirasi pada lumba-lumba sering dijumpai, akan tetapi jenis bakteri yang sering menyerang lumba-lumba dari perairan Laut Jawa belum diteliti secara mendalam.

Tim peneliti yang terdiri dari Agustin Indrawati dari Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB); Guntari Titik Mulyani dari Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKH Universitas Gadjah Mada; Yuda Heru Fibrianto dari Bagian Fisiologi FKH UGM; beserta Teguh Budipitojo dari Bagian Anatomi FKH UGM meneliti sistem respirasi dan kajian respirasi mikrobiologis lumba-lumba hidung botol Indo Pasifik (Tursiops aduncus) dari Perairan Laut Jawa.

“Lumba-lumba adalah hewan yang dilindungi. Hewan yang digolongkan dalam Appendix II, yaitu hewan yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan,” tutur Agustin.

Bottlenose dolphin adalah mamalia laut yang bernafas dengan paru-paru. Lubang pernafasan external sebagai satu-satunya lubang respirasi disebut sebagai blowhole yang berlokasi di dekat apex dari tulang tengkorak. Gangguan kesehatan terbanyak yang sering terjadi adalah infeksi bakterial yang menyerang pada sistem pernafasan.

“Secara normal terdapat beberapa mikrobiota normal seperti bakteri, virus, jamur maupun protozoa yang hidup pada sistem respirasi lumba-lumba. Meskipun demikian, mikrobiota ini akan berubah menjadi patogen ketika hewan mengalami stres, ataupun dengan pengobatan anti mikrobial tertentu. Penyakit bakterial, infeksi morbilivirus dan fitotoksin inilah sebagai penyebab kematian mamalia air di dunia,” jelasnya.

Tim peneliti melakukan studi pustaka, pemeriksaan klinis serta isolasi sampel sistem respirasi terhadap sepuluh ekor lumba-lumba bottlenose dolphin di PT. Wersut Seguni Indonesia. Sampel tersebut dikirim ke laboratorium Mikrobiologi FKH UGM untuk isolasi dan identifikasi terhadap bakteri dan jamur. Dari hasil percobaannya, peneliti menjelaskan bahwa pemeriksaan klinis lumba-lumba hanya dapat dilakukan secara inspeksi.

Dari hasil isolasi dan identifikasi bakteri, setelah sampel yang diperoleh dari blowhole, tim peneliti ini mendapatkan hanya kuman gram positif yang muncul setelah dilakukan pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis dari koloni. Dari 10 sampel diperoleh hasil bahwa 5 ekor lumba-lumba (50 persen dari yang diteliti) positif terhadap Staphylococcus aureus, sedangkan bakteri lain termasuk Pseudomonas aeroginosa dan Pasteurella multocida tidak dijumpai pada semua sampel. Selain dilakukan pemeriksaan terhadap bakteri dari swab sampel juga dilakukan pemeriksaan terhadap keberadaan jamur dengan menggunakan media Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA), akan tetapi seluruh sampel menunjukkan hasil negatif.

“Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa pemeriksaan klinis lumba-lumba dapat dilakukan dengan cara inspeksi terhadap blowhole, tingkah laku hewan, adanya “chuff” atau “honk” (batuk), frekuensi respirasi, sosialisasi hewan dan posisi hewan saat berenang. Bakteri Staphylococcus aureus dijumpai pada sistem pernafasan lumba-lumba hidung botol dari perairan Laut Jawa di PT. Wersut Seguni Indonesia,” ujarnya. (Humas IPB/111)