Smart Farming dengan Drone

Sabtu, 08 Juli 2017, 23:58 WIB

Drone untuk pertanian

AGRONET - Kelahiran pesawat tanpa awak atau biasa dikenal dengan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dan lebih populer dikenal dengan nama drone, telah dimulai sejak tahun 1849 ketika Austria menyerang Venesia, Itali dengan balon bermuatan bom. Tapi pengembangannya baru dilakukan di awal 1900-an dengan tujuan sebagai sasaran tembak pada latihan militer. Pengembangan drone di awal abad 20 memang lebih banyak ditujukan untuk keperluan militer.

Penggunaan drone di luar bidang militer diawali di bidang pekerjaan yang beresiko seperti pemadaman kebakaran atau pemetaan di daerah yang berbahaya seperti pengukuran daerah pembuangan sampai nuklir. Pemakaian drone membuat pekerjaan menjadi lebih cepat, mudah, dan efisien.

Kemajuan dibidang teknologi yang begitu pesat memungkinkan drone dapat terbang dengan membawa beban. Jenis pesawatnya pun sangat beragam, bergantung pada kebutuhan pekerjaan.

Di Indonesia, sejak beberapa tahun belakangan ini, drone telah banyak dipakai untuk berbagai keperluan. Polisi lalu lintas, dengan menggunakan drone yang dipasangi kamera dapat dengan mudah memantau kemacetan di jalan yang kebetulan tidak terdapat CCTV (Closed Circuit Television). Atau, pembuatan film laga. Pengambilan gambar dari sisi atas akan menghadirkan suasana yang lebih dramatis.

Lalu bagaimana dengan bidang pertanian ? Di negara maju, seperti Amerika Serikat, Israel, Australia, Jepang, dan Tiongkok, para petani telah sejak lama menggunakan drone untuk membantu pekerjaan di ladang. Baik soal urusan tanaman maupun hewan ternak.

Peternak yang memiliki sapi ratusan ekor, dengan menggunakan drone dapat mencari rumput yang masih segar untuk makanan sapinya sekaligus memantau sapinya. Petani di sawah juga tidak perlu lagi memasang boneka yang dipasangi kaleng berisi kerikil yang diikat dengan tali untuk menakut-nakuti burung. Cukup dengan drone yang dipasangi kamera dan sumber suara yang berisik, hama seperti burung dapat diusir.

Bayangkan berapa banyak orang yang harus dikerahkan jika seorang petani di Eropa memiliki pohon anggur yang luasnya ratusan hektar. Dengan drone, kondisi tanaman anggur dapat dipantau dengan lebih cepat, akurat, dan murah. Apalagi ketelitian drone jauh lebih baik dibandingkan satelit. Drone memiliki tingkat akurasi 2 cm per pixel, sedangkan tingkat akurasi satelit 15 x 15 meter.

Pemakaian drone untuk bidang pertanian di negara maju, memang telah sangat berkembang. Drone telah dipakai untuk melakukan pekerjaan pengawasan irigasi, identifikasi gulma, pemantauan kesehatan tanaman, penyemprotan pestisida atau nutrisi, identifikasi kesuburan tanah, dan lainnya.

Di Indonesia, drone juga telah dipakai untuk melakukan pekerjaan dibidang pertanian. Swadiri Institut misalnya, telah menggunakan drone yang dipasangi kamera infra merah dan kamera biasa untuk mendeteksi kesehatan tanaman pangan di Dusun Cempaka, Desa Sungai Itik, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Dengan melihat warna yang dihasilkan dari pencitraan digital, dapat segera diketahui jika di daerah tertentu ada tanaman yang terkena penyakit. Penanggulangannya pun bisa segera dilakukan.

Pemerintah Kabupaten Purbalingga juga pernah memanfaatkan drone untuk melakukan pemupukan dari udara, bekerjasama dengan Yayasan Panglima Besar Jenderal Soedirman dan UAV Research Institute Co.Ltd, Hubei, Tiongkok. Ujicoba pemupukan ini dilakukan di area persawahan milik petani seluas 23,5 hektar di Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari, Purbalingga.

Beberapa tahun yang lalu, Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) LAPAN juga pernah mengembangkan dan menggunakan drone untuk memantau lahan pertanian seluas sekitar 500 hektar binaan Balai Benih Padi di Subang. Pustekbang LAPAN menggunakan drone jenis Zen LAPAN01.

Negara tetangga kita, Thailand, teknologi drone dikembangkan salah satunya oleh tim peneliti dari Mahidol University. Menurut Teerakiat Kerdcharoen, dari Mahidol University, pengembangan drone memiliki tujuan untuk mendorong penerapan konsep pertanian pintar (smart farming). “Di masa depan saya membayangkan, petani tinggal duduk di rumah sambil mengendalikan sekumpulan drone yang terbang di atas ladang yang bekerja menggantikan manusia,” ujarnya.

Di negara Tiongkok, teknologi berkembang lebih maju. Sudah sejak lama drone digunakan untuk keperluan militer. Tapi, DJJ sebuah perusahaan teknologi yang berpusat di Shenzhen, Propinsi Guangdong, telah mengembangkan drone untuk keperluan pertanian. Salah satu produksinya yang terkenal adalah drone yang diberi nama Agras MG-1.

Drone ini memiliki delapan motor yang tahan debu, korosi, dan mampu membawa beban hingga 10 kg. Dalam waktu satu jam, Agras MG-1 dapat menyemprotkan cairan ke lahan pertanian seluas tiga sampai empat hektar. Ini berarti Agras MG-1 lebih efisien 40 kali dibandingkan dengan cara manual.

Agras MG-1 juga telah dibekali dengan sistem radar gelombang mikro yang memungkinkan drone ini menyemprotkan cairan ke tanaman dengan jarak yang selalu sama. Sistem penyemprotannya pun dapat diatur, otomatis, semi otomatis, dan manual. Namun, harga jual Agras MG-1 masih terbilang mahal. Sekitar Rp 200 jutaan.

Di Tiongkok, drone memang telah banyak membantu pekerjaan petani di sawah. Seperti halnya penjelasan Wang Ke Zhen dari UAV Research Institute Co.Ltd, Hubei, Tiongkok, bahwa pemakaian drone untuk pemupukan akan lebih cepat, murah, dan hasilnya lebih baik. Di Provinsi Hubei, Tiongkok, teknologi pemupukan dengan drone telah dimanfaatkan dan berhasil meningkatkan produksi padi.

Selain itu, drone juga dapat mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja. Saat ini dengan semakin banyak orang tidak berminat menjadi petani, drone akan siap bekerja menggantikannya. Lebih cepat, murah, dan lebih baik hasilnya. (555)