RNI Siapkan Babak Baru Industri Gula

Rabu, 14 Maret 2018, 13:55 WIB

Kanto Pusat Rajawali Nusantara Indonesia Persero

AGRONET – Sebuah babak baru industri gula nasional tengah disiapkan. Yakni oleh Badan Usaha Milik Negara perkebunan, PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Hal tersebut tersingkap lewat sikap pandangan Direktur Utama RNI, B. Didik Prasetyo yang tertuang dalam CEO Note-nya.

Menurut Didik, industri berbahan baku tebu ke depan semestinya tak hanya memproduksi gula sebagai bahan pemanis yang telah dikenal selama ini. Industri ini juga perlu melahirkan produk-produk lain turunannya yang tak kalah menguntungkan. Seperti bioethanol, bioplastik, listrik, kolagit, alkohol dan lainnya.

“Thailand sudah mengembangkan produksi bioplastik dalam industri gula, produksi gula hanya side product saja,“ papar Didik. Itu sebabnya ia percaya bahwa persoalan gula nasional akan terselesaikan bila pabrik-pabrik gula di Indonesia dikembangkan ke arah sana.  Maka ia berharap semua pabrik gula mulai memfokuskan diri pada industri hilir tebu, bukan hanya memproduksi gula semata sebagai produk utamanya.

Untuk melangkah ke babak baru industri gula tersebut, RNI siap menjadi pelopornya. Apalagi industri gula memang merupakan kompetensi utama RNI sebagai BUMN penerus usaha Raja Gula Oei Tiong Ham dulu. Di bidang agro industri yang juga menjadi bidang utama BUMN ini, RNI setidaknya memiliki 10 pabrik gula yang tersebar di berbagai daerah.

Tak hanya pabrik gula, sayap agro RNI juga mencakup pabrik teh, pabrik kelapa sawit, serta peternakan sapi. Sementara itu, bisnis lainnya meliputi pabrik alkohol,perusahan farmasi, pabrik alat kesehatan, jaringan swalayan Rajawali Smart, hingga manajemen properti. Semua itu dikelola melalui 13 anak perusahaannya.

Adapun untuk menyambut babak baru industri gula, RNI sedang berancang-ancang untuk memindahkan pusat aktivitasnya ke luar Jawa. “Di pulau Jawa sudah sulit mengembangkan industri gula, saat saya sedang mempersiapkan untuk hijrah ke luar Jawa,” sebutnya.

Menurutnya, pengmbangan gula di Jawa hanya layak di daerah yang berbasis tebu rakyat dengan budaya menanam tebu yang kuat seperti Malang Selatan, Kediri atau Pati. Itupun pabrik gula harus melengkapi dengan industri hilir dengan mencari produk selain gula yang mempunyai nilai tambah yang tinggi. Namun diakuinya bahwa ilmu untuk babak baru industri gula itu belum sepenuhnya dikuasai. Maka prinsip “ibarat menuntut ilmu ke negeri Cina-pun” pun dilakukan.

Thailand disebut sudah memasuki generasi ketiga dalam industri ini. Negara itu sudah fokus pada produksi hilir seperti bioplastik, sehingga gula hanya produk sampingnya. Sementara itu, menurut Didik, Indonesia masih saja beradu urat dan bersitegang bagaimana meningkatkan rendemen gula, produktivitas gula maupun menurunkan harga pokok produksi gula dan tetes saja.

Karena itu, RNI minta anak perusahaannya yang menjadi andalan di industri gula, yakni  PT Pabrik Gula Rajawali I untuk lebih berani berinvestasi di sektor hilir industrinya. Untuk itu, anak perusahaan tersebut dimintanya menyiapkan sumber dana baru yang efisien, seperti melalui penerbitan obligasi, surat utang jangka menengah atau MTN, dan bahkan menjajaki kemungkinan untuk ke pasar modal lewat IPO.

Kerjasama dengan PT Danareksa menjadi langkah awalnya. Dengan bekal Rating A, kiranya tidak sulit untuk memperoleh dukungan pendanaan non-bank tersebut. Hal itu diyakini akan memudahkan korporasi untuk mengembangkan usaha secara organik maupun anorganik, menuju babak baru industri gula. (269)