Kementan Ajak Produsen Tingkatkan Kualitas Obat Hewan

Minggu, 21 April 2019, 12:53 WIB

Direktur Kesehatan Hewan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, dalam pertemuan dengan produsen obat hewan di Jakarta. | Sumber Foto: Biro Humas dan Publik Kementan

AGRONET -- Kementerian Pertanian mengajak seluruh produsen obat hewan Indonesia untuk terus meningkatan kualitas obat hewan dengan penerapan cara pembuatan obat hewan yang baik (CPOHB), serta mewaspadai ancaman penyakit infeksi baru, dan resistensi antimikroba. Selain itu produsen didorong untuk terus memperluas akses pasar.

Hal tersebut mengemuka saat pertemuan antara Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementan bertemu dengan para produsen obat hewan dan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) di Jakarta (15/4). Pertemuan ini dihadiri oleh semua produsen obat hewan, baik produsen obat hewan sediaan biologik, farmasetik, premiks, dan sediaan obat alami yang tersebar di seluruh indonesia.

Direktur Kesehatan Hewan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, menyampaikan pertemuan dengan produsen ini rutin dilakukan sejak tahun 2018 dengan mengangkat tema terkait upaya-upaya peningkatan ekspor obat hewan Indonesia dan isu-isu penting seputar peternakan dan obat hewan. Pada kesempatan itu dibahas tentang peran produsen obat hewan dalam menjamin kuantitas dan kualitas (mutu, khasiat, dan keamanan) untuk peningkatan produksi peternakan dan akses pasar yang lebih luas. Serta didiskusikan juga peran produsen obat hewan dalam pencegahan laju resistensi antimikroba.

"Pada periode tahun 2015-2018 Indonesia telah berhasil mengekspor obat hewan ke-93 negara dengan nilai ekspor lebih dari Rp23,54 triliun. Nilai ekspor dan jumlah negara penerima ini trend nya terus meningkat setiap tahunnya. Kita berharap adanya pertemuan rutin dengan para produsen obat hewan Indonesia ini akan terus mendorong peningkatan akses pasar ke berbagai negara dan disertai peningkatan volume dan nilai ekspornya," ungkap Fadjar.

Dia menambahkan beberapa waktu yang lalu, Kementan menyepakati rencana peningkatan ekspor berbagai produk peternakan termasuk obat hewan ke Timor Leste. Pemerintah akan selalu berupaya untuk membuka akses-akses pasar seperti ini untuk kemudian mengajak para produsen peternakan mengisi peluang-peluang tersebut.

Fadjar juga menegaskan resistensi antimikroba tidak terlepas dari penyimpangan dalam penggunaan antimikroba di sektor peternakan seperti penggunaan antibiotic growth promotor (AGP), penggunaan antibiotik untuk pencegahan tanpa pengawasan dokter hewan, serta adanya diagnosa penyakit yang tidak tepat yang berakibat adanya pengobatan yang salah. Hal-hal tersebut harus segera diperbaiki dan diantisipasi untuk keselamatan manusia, hewan, dan lingkungan. Fadjar juga menyampaikan apresiasi untuk para produsen obat hewan yang telah menerapkan prinsip-prinsip CPOHB dalam produksi obat hewan Indonesia. 

Sementara itu, Kasubdit Pengawasan Obat Hewan, Ditjen PKH, Ni Made Ria Isriyanthi, menjelaskan dalam rangka mendukung peningkatan ekspor tersebut, produsen obat hewan Indonesia harus menerapkan CPOHB dengan konsisten. Untuk lebih memahami tentang CPOHB ini, Kementan telah mengundang 3 narasumber ahli CPOHB untuk memberikan penjelasan terkait penerapan CPOHB pada fasilitas produksi sediaan biologik, fasilitas produksi sediaan farmasetik, dan premiks, serta fasilitas produksi sediaan obat alami.

Ketua ASOHI, Irawati Fari, mengapresiasi upaya Kementan dalam mengatur penggunaan antimikroba melalui terbitnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2017. Irawati juga menegaskan dukungan ASOHI kepada pemerintah dalam upaya pengendalian antimikroba disektor peternakan dan kesehatan hewan.

Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), Kementerian Kesehatan, Hari Paraton, menambahkan isu AMR merupakan isu global. Menurutnya, dalam penanganannya memerlukan kerja sama lintas sektor melalui pendekatan “One Health” yang melibatkan unsur kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. 

"Penggunaan antimikroba yang tidak sesuai aturan dapat menimbulkan percepatan terjadinya resistensi antimikroba baik di sektor manusia, hewan, dan lingkungan. Kerja sama antara sektor-sektor tersebut sangat diperlukan untuk memperlambat laju AMR ini. Oleh karena itu saya mengajak para produsen obat hewan untuk memproduksi antimikroba yang sesuai dengan kebutuhan terapi di peternakan, dan ikut mengedukasi pelanggannya untuk menggunakan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab," pungkasnya. (591)