Kayu Bawang, Identitas Budaya Bengkulu

Kamis, 06 September 2018, 13:59 WIB

Hutan Kayu Bawang | Sumber Foto:Humas KLHK

AGRONET--Banyaknya masyarakat Bengkulu yang memilih menanam kayu bawang dibanding tanaman lain di lahan mereka membuat peneliti Balai Litbang LHK (BP2LHK) Palembang, Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari, penasaran dan mencari tahu apa alasannya.

“Kayu bawang dipilih masyarakat Bengkulu karena tanaman ini merupakan identitas budaya bagi masyarakat Bengkulu terutama pada suku Rejang, Lembak, dan Serawai yang merupakan suku yang ada di Provinsi Bengkulu,” kata Bambang dalam tulisannya yang dimuat dalam Buku Bunga Rampai Kayu Bawang terbitan BP2LHK Palembang tahun 2017.

“Selain itu, kayu bawang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, selain digunakan untuk kebutuhan sendiri, kayu bawang juga ditanam untuk tabungan atau investasi untuk anak atau cucu,” tambah Bambang.

Sebagaimana diketahui, kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs merupakan salah satu jenis unggulan di hutan rakyat, karena memilki kualitas kayu yang baik, pertumbuhan yang cukup cepat, serta tidak mengganggu tanaman pokok apabila ditanam secara bersama-sama. Prospek pasar dan harganya pun cukup baik.

“Dari hasil penelitian di lapangan ditemukan bahwa rata-rata kepemilikan lahan oleh masyarakat pada lokasi penelitian antara 1,03 – 3,00 Ha, sementara itu kebutuhan minimal sesuai pola penanaman campuran kayu bawang antara 0,34 – 1,01 Ha. Dengan demikian, pola agroforestri kayu bawang bisa diterapkan di lahan tersebut,” jelas Bambang.

Selain itu, pada umumnya masyarakat Bengkulu memanen kayu bawang pada umur 15 tahun dengan volume per batang 0,83 m, baik untuk konsumsi rumah tangga sendiri maupun dijual pada tengkulak kayu. Pada umur 15 tahun, kayu bawang sudah memiliki harga jual yang cukup tinggi dan tengkulak sudah bersedia membeli dengan harga yang pantas.

Belajar dari agroforestri kayu bawang yang berkembang di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah, dalam tulisannya berjudul “Agroforestri Berbasis Tanaman Lokal: Upaya Rasionalitas Petani dalam Menanam Kayu Bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs)”, kedua peneliti ini mengupas motivasi petani dalam memilih tanaman ini lewat uji kelayakan finansial yaitu seberapa besar kelayakan usaha dan luas lahan minimum yang dibutuhkan serta bagaimana pasar kayu bawang yang ada di lapangan.

Dalam tulisannnya disebutkan, hasil analisis finansial dengan tingkat suku bunga 11?n 13%, pola agroforestri kayu bawang dengan karet alam, coklat, karet unggul dan sawit dianggap layak atau menguntungkan untuk diusahakan pada lahan milik. Namun, secara proporsi alokasi lahan yang optimum, nilai tertinggi terdapat pada pola agroforestri kayu bawang dan karet unggul.

“Elastisitas kelayakan ditunjukkan pada pola agroforestri kayu bawang dan karet unggul yang memiliki tingkat pengembalian modal yang paling tingggi apabila modal usaha penanaman kayu bawang diperoleh dari pinjaman/kredit usaha,” jelas Bambang.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa terkait pemasaran, petani di Bengkulu sudah memiliki mekanisme tersendiri. Umumnya, petani ini menjual kayu ke para penggesek yang ada di desa. Penggesek ini kemudian akan menjual kayu bawang dalam bentuk balok kaleng ke para tengkulak/pengumpul yang ada di desa atau dari kota. Pemasaran kayu bawang ini dapat dikatakan efisien, karena konsumen hanya membayar sepertiga dari nilai yang harus dibayarkan.
Selain itu, pemasaran ini juga didukung dengan berkembangnya usaha perkayuan dan tata usahanya. Hampir di setiap desa-desa yang menjadi sumber kayu bawang telah memiliki usaha pengolahan kayu bawang skala kecil. Disamping itu, jumlah pelaku pemasaran kayu bawang cukup banyak sehingga memudahkan petani untuk mendapatkan informasi harga dan melakukan transaksi proses tawar menawar. (Humas KLHK)