Wisnu Gardjito Promotor ’Emas Hijau’

Selasa, 26 September 2017, 00:02 WIB

Wisnu Gardjito

AGRONET – Bicaranya selalu antusias. Juga penuh data. Terasa kontras dengan putih rambutnya. ”(Putih) itu bukan karena Pak Wisnu sudah tua, tapi karena terlalu serius memikirkan Indonesia,” seloroh temannya pada Wisnu Gardjito, sosok yang biasa disebut sebagai promotor ‘emas hijau’ ini.

Wisnu memang selalu bersemangat. Semangat dalam memikirkan nasib dan masa depan bangsa. Terutama yang menyangkut pertanian. Semangat untuk mempromosikan kekayaan sumberdaya hayati Indonesia. ”Kita ini punya emas hijau,” katanya. ”Kalau kita kelola dengan baik, negara ini akan jadi negara maju.”

Emas hijau? Ya, ia menyebutnya ’emas hijau’ untuk jenis tanaman yang selama ini dikenal sebagai kelapa atau ’Cocos nucifera’. Menurutnya, jenis tanaman ini adalah andalan Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang berada di khatulistiwa, Indonesia adalah penghasil kelapa utama di dunia. Begitu besar potensi ekonomi yang dapat diraih dari pengembangan kelapa hingga, menurutnya, pantas untuk disebut emas hijau.

Perjalanan Wisnu untuk mengikat hidup dengan perkelapaan adalah perjalanan panjang. Ia lahir dan besar di Surabaya. Kehidupan kota yang tak membuatnya akrab dengan kelapa, kecuali sekadar mengkonsumsinya. Namun keluarga menanamkan rasa kepedulian. Ayahnya, seorang dokter idealis, mengajarkan agar dalam bekerja Wisnu tidak untuk mencari uang, melainkan untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi sesama. ”Uang nanti akan datang sendiri.”

Selulus SMA tahun 1979, ia pun hijrah ke Bogor. Tempatnya untuk melanjutkan kuliah di IPB, dan mengambil jurusan agronomi. Jurusan ’inti’ dalam ilmu-ilmu pertanian. Tak sulit bagi Wisnu yang dikenal jenius ini untuk meraih nilai bagus. Juga untuk meraih beasiswa prestisius pada masanya. Tantangannya adalah bagaimana mengaplikasikan ilmu pertanian yang dimilikinya, yang kelak akan mengantarkannya sebagai promotor emas hijau.

Kesempatan berkarya itu pun terbuka begitu ia bergabung di PT Perkebunan XXVI. Ia ditempatkan untuk memimpin ’kebun kapas’ di Tuban, Jawa Timur. Kebun yang dikembangkan oleh BUMN ini dengan masyarakat petani di daerah tersebut. Kurang dari satu tahun di sana, Wisnu berhasil melejitkan tingkat produksi dan menekan biaya produksi secara signifikan.

Keberhasilan itu untuk mengantarkan kebun kapas itu mendapat penghargaan nasional. Menteri Pertanian saat itu, Hasyrul Harahap, menjadikan proyek tersebut sebagai percontohan nasional. Semua itu berkat ketekunan Wisnu mencermati dan meneliti pola hidup hama kapas. Juga kesabarannya untuk menyuluh petani.

Ia pun mendapat promosi ke wilayah Malang dan sekitarnya. Promosi yang semula disesali karena menjauhkannya dari lapangan yang tengah ia geluti. Namun, bukan Wisnu kalau tidak menemukan lahan baru buat digarapnya. Perjalanannya ke kawasan pesisir di Tulungagung maupun Blitar membuat perhatiannya tertambat pada kelapa.

”Kelapa itu tumbuh alamiah di semua daerah pesisir di Indonesia,” kata Wisnu. Pemanfaatan kelapa untuk berbagai keperluan juga telah menjadi kearifan lokal di seluruh wilayah Nusantara. Seperti untuk pengolahan beragam jenis makanan dari seluruh daerah. Termasuk untuk membuat rendang yang kini sering disebut sebagai jenis makanan ’paling enak’ di dunia. Tanpa kelapa, tutur Wisnu, tentu tak ada masakan rendang.

Dengan melakukan kajian ringkas, Wisnu dengan cepat tahu besarnya potensi kelapa untuk mengatasi masalah kemiskinan. Apalagi di Blitar Selatan saat itu, yang masih panas akibat pergolakan politik sisa dari tahun 1965 lalu. Kelapa bukan hanya dapat menjadi sarana untuk memakmurkan rakyat, namun juga untuk rekonsiliasi sosial.

Wisnu lalu ditarik untuk bergabung dengan Kementerian Perindustrian untuk pengembangan agribisnis. Wisnu pun membawa gagasan kelapa sebagai lokomotif pembangunan pertanian, bahkan pembangunan ekonomi, nasional. Dalam urusan bercocok tanamnya, sama sekali bukan persoalan bagi Wisnu. Ilmu pertanian sangat dikuasainya. Masalahnya, agribisnis tak cukup hanya dengan ilmu cocok tanam. Juga perlu penguasaan dalam soal ekonomi dan bisnis.

Maka Wisnu pun ke Amerika buat mengambil studi di ’Economic Institute of Colorado University’ dengan fokus studi keuangan. Tak cukup di sana, ia menengambil program MBA International Management di International University of Japan. Dari Jepanglah ia belajar bagaimana perlunya benar-benar menguasai ilmu secara mendalam pada bidang tertentu. Makin terpatrilah perhatiannya pada kelapa.

Luas lahan tanaman kelapa di Indonesia diperkirakan sekitar 3,8 juta hektar. Kebun kelapa seluas itu disebutnya merupakan modal besar bagi perekonomian Indonesia. Yakni untuk melayani masyarakat dunia sebagai konsumen yang kini berjumlah sekitar 7 milyar jiwa. Untuk itu, komoditas kelapa tak boleh lagi diperlakukan seperti di masa lalu yang antara lain hanya dijual sebagai kopra untuk membuat minyak goreng sekadarnya.

”Kelapa harus benar-benar diolah ke semua produk turunannya,” kata Wisnu yang mengaku mengenal sekitar 1.600 dari sebanyak 2.000 produk turunan kelapa. Demi menguasai ilmu pengolahannya, Wisnu pun melanjutkan studi ke program doktor Teknologi Industri Pertanian IPB. Aspek bercocok tanamnya sudah dikuasai, bisnis juga sudah, kini tinggal memperdalam sisi teknologi pengolahan hasil.

Menjadi tenaga ahli di UNIDO makin membuka mata Wisnu tentang dahsyatnya potensi kelapa sebagai emas hijau Indonesia. ’The United Nations Industrial Development Organization’ ini menjadi lembaga yang membentangkan peta pengembangan industri bisnis dunia. Industri berbasis kelapa yang dikembangkan masyarakat semestinya dapat memenuhi keperluan konsumen Indonesia, bahkan juga konsumen dunia.

Namun jangankan mengisi pasar dunia, pasar di dalam negeri pun belum dipenuhi oleh produk-produk turunan kelapa. ”Konsumen kita malah dikuasai oleh industri-industri raksasa dunia,” kata Wisnu. Padahal bila pasar dalam negeri dapat dikuasai sendiri melalui produk turunan kelapa, kemakmuran masyarakat dapat dibayangkan. Apalagi bila produk turunan kelapa kita dapat menguasai dunia.

Kedahsyatan kelapa disebutnya tak dapat terbantahkan. ’White cooking oil’ dari kelapa misalnya adalah minyak goreng terbaik yang ada. ”Dapat dipakai berulang-ulang sampai habis, tanpa menimbulkan efek apapun,” katanya. Ia mengajak membandingkan dengan minyak goreng lainnya yang segera keruh setelah dipakai beberapa kali, hingga dapat memberi efek karsinonegik atau pemicu kanker.

Oleo dari kelapa juga disebutnya merupakan bahan kosmetik yang luar biasa. Bahkan produk kelapa yang sederhana, yakni air kelapa saja memiliki keutamaan yang luar biasa. Itu sebabnya dalam 10 tahun terakhir ini air kelapa kemasan melejit menjadi minuman terfavorit di Amerika Serikat. Di Indonesia, sebuah merek kemasan air kelapa telah menjadi produk yang paling menguntungkan bagi korporasi kesehatan yang mengembangkannya.

”Potensi ekonomi dari kelapa ini menjadi Rp 4.000 trilyun setahun, dan bila dikembangkan secara benar dapat menampung 25 juta tenaga kerja,” kata Wisnu. Sayangnya, bangsa ini masih sangat mengabaikannya. Hal tersebut membuat Wisnu tak mau berhenti mempromosikan kelapa. Ia pergi ke berbagai daerah, terutama ke kabupaten-kabupaten pesisir untuk mengolah kelapa menjadi andalan bisnis daerahnya.

Selain itu, ia juga membangun komunitas peduli kelapa yang dinamainya sebagai komunitas The Green Coco Island. Lewat komunitas ini, Wisnu bukan hanya mengajak untuk peduli pada kelapa dan juga menyebarkan pengetahuan tentang produk turunan kelapa hasil riset yang ia lakukan di labnya sendiri di Depok. Lebih dari itu, komunitas itu juga diajaknya untuk mengembangkan usaha berbasis industri rumah tangga.

”Mereka kita ajak untuk membuat kecap rakyat, minyak VCO, sabun, kosmetik, dan obat turunan kelapa,” kata Wisnu yang fasih berbahasa Inggris, Jepang, dan Arab ini. Dengan cara itu, komunitas emas hijau tersebut berkembang. Masyarakat luas pun, menurutnya, menyambut baik produk-produk The Green Coco Island yang memang lebih baik dibanding banyak merek asing.

Wisnu begitu menguasai urusan kelapa. Begitu dalam penguasaannya, hingga orang-orang menyebut si promotor emas hijau ini sebagai ”profesor kelapa.” Profesor yang tak lelah untuk menyuarakan betapa dahsyatnya kekayaan bangsa ini berupa si emas hijau kelapa. Siapa lagi promotor emas hijau itu kalau bukan Wisnu Gardjito. (312)