Arif Satria Sang ’DNA Perubahan’ IPB

Sabtu, 09 Desember 2017, 12:15 WIB

Arif Satria, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB)

AGRONET – Luwes, artikulatif, dan kosmopolitan. Itu karakter yang terasosiasikan pada Arif Satria, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) yang baru terpilih. Karakter yang sepertinya tidak mewakili dunia pertanian. Juga tidak merepresentasikan lembaga pendidikan pertanian seperti IPB. Tapi justru pada karakter yang dimiliki Arif inilah masa depan IPB dapat diharapkan.

Renald Khasali, pakar manajemen itu, telah menulis buku berjudul ’Re-Code Your Change DNA’. Sebuah buku yang terbit tahun 2014. Lewat buku itu, Renald menegaskan kembali bahwa perubahanlah yang mewarnai dunia sekarang dan ke depan. Siapa yang tak siap berubah akan runtuh. Sekuat apapun dia, baik pribadi, korporasi, maupun institusi. Kesiapan berubah itu disebutnya ditentukan oleh ‘manajemen’ DNA Perubahan yang ada di dalam diri lembaga.

Apa yang kurang pada perusahaan IBM yang menguasai industri komputer tahun 1980-an? Perusahaan raksasa teknologi ini pun lenyap ditelan perubahan. Begitu juga kedigdayaan Black Berry dengan program BBM-nya serta Nokia yang kemudian harus tersaruk-saruk oleh zaman. Ancaman serupa bahkan terjadi di perguruan tinggi. Di Amerika Serikat diperkirakan bakal terjadi penutupan 40 persen universitas akibat perubahan zaman.

IPB? Sejauh ini tetap bertahan di tengah angin perubahan yang ada. Bahkan masih mencatat sejumlah prestasi hebat. Bila diukur dari jumlah mahasiswa serta kegiatannya, IPB masih terus tumbuh. Namun dari kualitas input mahasiswa yang masuk, IPB makin menurun. Baik dalam kapasitas akademik maupun latar sosial ekonominya. Sementara itu, pengaruh IPB dalam penentuan kebijakan ekonomi nasional juga semakin menurun. Pada saat seperti inilah Arif pun tampil.

Putra Pekalongan kelahiran tahun 1971 ini dapat diibaratkan sebagai DNA Perubahan IPB. Ia tumbuh bersama dengan perubahan dunia yang berlangsung dengan cepat. Yakni perubahan dari ’zaman baheula’ menjadi ‘zaman now’. Ibarat di dunia musik, Arif menyebut dirinya hidup dari ”zaman kaset, lalu disc, kemudian i-Tunes.” Dunia yang berubah menjadi bagian dari tumbuh kembangnya. Wajar bila DNA-nya dapat dikatakan sebagai DNA Perubahan.

DNA Perubahan inilah yang diperlukan buat mengarungi masa yang disebut sebagai era Disrupsi ini. Era saat cara pandang serta paradigma lama begitu cepatnya runtuh untuk digantikan oleh cara cara pandang dan paradigma baru. Arif memiliki, dan bahkan menjadi, DNA Perubahan. Maka ia pun menawarkan tema perubahan dalam kontestasi pemilihan Rektor IPB yang lalu. Arif mengingatkan semua terhadap zaman Disrupsi sekarang. Lalu mengajak semua menyiapkan diri buat menyongsongnya. Ternyata respon yang diterimanya luar biasa.

”Memang dia yang paling mumpuni,” kata Sumardjo, Profesor Ilmu Penyuluhan IPB. ”Konsepnya sangat komprehensif,” kata seorang dosen senior perguruan tinggi itu. Itu yang membuatnya mulus melampaui tahapan demi tahapan pemilihan rektor IPB. Mulai dari seleksi awal, pemilihan enam besar kandidat, lalu tiga besar, hingga puncak pemilihan rektor.

Arif sendiri percaya bahwa banyak pihak di IPB mendukung konsepnya. Apalagi para dosen serta anggota senat yang muda, yang tentu lebih terbiasa dan lebih menuntut adanya perubahan. Namun ia tidak menyangka bahwa dukungan dari para dosen senior begitu besar. ”Mereka ternyata sangat concern pada perubahan IPB mendatang,” kata Arif pada Agronet.

Dukungan pada perubahan itu begitu kuat. Senat serta Majelis Wali Amanat pun bulat memilih Arif. Jalan musyawarah mufakat tanpa pemungutan suara. Hal yang baru sekali ini terjadi di IPB dan juga perguruan tinggi negeri lainnya. Rektor IPB 2007-2017 Herry Suhardiyanto yang dikenal telah membangun pondasi kuat bagi manajemen IPB ke depan pun mendukungnya penuh menjadi penerus tongkat estafet kampus ini.

Tentu Arif tidak hanya membuat kampanye penyadaran perubahan buat IPB. Ia juga menyampaikan program konkret yang sejalan dengan kampanye perubahannya. Untuk itu, doktor Kebijakan Kelautan dari Universitas Kagoshima Jepang ini antara lain mendorong penguatan kolaborasi IPB dengan berbagai lembaga lain. Terutama di antaranya adalah lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah.

Ia membayangkan sebuah format win-win solution buat pengembangan kolaborasi itu. Yakni membuat lembaga-lembaga riset tersebut lebih terbuka untuk dimanfaatkan kalangan akademisi IPB. Di sisi lain, lembaga-lembaga riset itu juga akan memiliki afiliasi akademik yang lebih kuat. Terutama untuk lembaga-lembaga riset d lingkungan pertanian, yang saat ini masih dapat dikembangkan lagi secara lebih optimal.

Seiring dengan kolaborasi riset tersebut, studi lapangan pun diharapkan Arif lebih menguat. Kalangan akademis, diharapkannya lebih intens untuk melakukan studi lapang. Hal tersebut akan menguatkan penguasaan masalah nyata yang ada di dunia pertanian. Dalam pandangannya, para mahasiswa pun sebaiknya mengenal situasi lapangan lebih dahulu baru penguasaan teori. Bukan yang selama ini menjadi kecenderungan dunia akademis pada umumnya yang mengedepankan penguasaan teori baru kemudian ke lapangan.

”Kita harus hands on dalam mengatasi persoalan nyata di masyarakat,” kata Arif. Hal tersebut bukan hanya berlaku untuk IPB, maupun dunia pertanian. Hal tersebut juga menjadi keperluan Indonesia di berbagai bidang. Kini Arif mendapat mandat itu buat mewujudkannya di lingkup IPB.

Terobosan lain yang juga disiapkannya adalah menyangkut input IPB, yakni dalam penerimaan mahasiswa baru. Selama ini, seperti halnya perguruan tinggi lainnya, pertimbangan utama dalam penerimaan mahasiswa baru selalu aspek akademik. Hal yang memang tidak keliru, namun sering mengabaikan aspek potensial lainnya yang juga sangat penting dalam membangun masyarakat kampus.

Arif ingin IPB mengundang khusus pada aktivis pelajar di tingkat Sekolah Menengah Atas. ”Karakter kepemimpinan mereka sudah terbangun, dan kecakapan sosialnya pun tinggi,” katanya. Keberadaan mereka di kampus akan berkontribusi dalam iklim kampus yang baru, yang dipandangnya akan sesuai dengan tantangan era Disrupsi mendatang. Keberadaan para mahasiswa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, namun kuat dalam kepemimpinan dan kecakapan sosial akan memudahkan IPB untuk mewujudkan diri sebagai kampus pencetak enterpreneur seperti yang telah dicanangkan selama ini.

Program-program itu dimaksudkannya sebagai pilar untuk merevitalisasi IPB untuk kembali menjadi lampu suar pemandu kebijakan pertanian Indonesia. Serupa dengan suar yang sedikit banyak tetap dipakai buat pemandu arah kapal berlayar. Saat ini posisi IPB untuk menjadi pemandu kebijakan publik di bidang pertanian masih relatif lemah.

Tentu bukan hal mudah buat Arif mewujudkan harapan perubahan buat IPB. Institut pertanian ini bukan ruang kosong yang dapat dibangun tatanan model baru secara cepat. Sebaliknya, IPB adalah tatanan nilai, pengetahuan, dan pengalaman yang telah terbangun selama puluhan tahun sejak berdirinya. Tatanan yang tak mudah untuk dibongkar begitu saja buat membangun yang baru. Tetapi rektor baru ini tentu sudah memperhitungkan tantangan tersebut.

Arif tahu bahwa bangsa ini perlu tegas melangkah menyongsong zaman baru. Begitu pula IPB. Dia pun dipilih menjadi rektor karena kesiapannya membawa IPB ke era baru. Yang perlu ia lakukan hanya memformat ulang DNA Perubahannya sendiri. Dari DNA Perubahan untuk mendisrupsi Fakultas Ekologi Manusia yang selama ini dipimpinnya, menjadi DNA Perubahan buat mendisrupsi IPB. Luwes, artikulatif, dan kosmopolitan adalah adalah modal besarnya buat menaklukkan Disrupsi sekarang dan mendatang. (312)