Sempalwadak memiliki sekitar 2.500 klon plasma nutfah atau tetua tanaman tebu.

Sempalwadak, Meracik Benih Sejarah dan Masa Depan Gula Indonesia

Jumat, 19 Juli 2024, 13:56 WIB

Tim Gabungan Produsen Gula Indonesia saat berkunjung ke lokasi pengembangan varietas tebu di Sempalwadak, Malang, Jawa Timur, pekan ini. | Sumber Foto:Dok. Gapgindo

AGRONET -- Sempalwadak adalah lahan yang istimewa bagi perjalanan sejarah dan masa depan tebu Indonesia. Lokasinya berada di wilayah milik pabrik gula PT Kebon Agung (KBA). Kerja sama ini dirajut sejak era kolonial Belanda, terkait sejarah lembaga yang menjadi cikal bakal Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Kini P3GI ada di lingkup PT Riset Perkebunan Nusantara yang merupakan anak perusahaan PT Perkebunan Nusantara III (Persero).

“P3GI sudah menghasilkan aneka varietas unggul di Indonesia, bahkan sudah diuji di negara lain,” ujar Dr Wiwit Budi Widyasari, seorang pemulia tebu yang berkiprah di P3GI, kepada Agronet, Kamis (18/7/2024).

Wiwit mencontohkan, salah satu varietas karya P3GI yang pernah diuji lalu dikembangkan di Filipina, yaitu PS 862 dengan rendemen riil di pabrik gula mencapai 12 persen. Uji multilokasi penting untuk mengetahui kesesuaian bibit dengan iklim, tipologi, jenis tanah, hingga cara budidayanya.

“Meski dibudadayakan di Filipina, namun terikat MoU bahwa namanya tidak boleh diubah karena ada Hak Kekayaan Intelektual (HKI),” paparnya.

Menurutnya, Sempalwadak adalah lahan yang istimewa bagi perjalanan sejarah dan masa depan tebu Indonesia. Lokasinya berada di wilayah milik pabrik gula PT Kebon Agung (KBA). Kerja sama ini dirajut sejak era kolonial Belanda, terkait sejarah lembaga yang menjadi cikal bakal P3GI.

Pemerintah kolonial Belanda mendirikan Het Proefstation Midden Java di Semarang pada 1885 dan Proefstation Oost Java (POJ) di Pasuruan pada 1887. Pada 1905, dinamika saat itu membuat kedua lembaga disatukan dan berpusat di Pasuruan. POJ dinasionalisasi pada 1958 menjadi Balai Penyelidikan Perusahaan Perusahaan Gula (BP3G). BP3G diubah menjadi P3GI pada 1987, tepat 100 tahun sejak lahirnya POJ.

 

Mengapa di Sempalwadak?

Foto dokumentasi tanpa tahun di P3GI menunjukkan bahwa pada era kolonial Belanda, POJ sudah memiliki fasilitas persemaian biji tebu. Lokasinya saat itu berada di Pasuruan.

Pada era tersebut, kiprah POJ mampu menjadi kiblat bagi dunia tebu dunia. Laman P3GI menyebutkan, POJ mampu menjawab tantangan saat itu yaitu, mengatasi serangan penyakit “sereh” yang melanda hampir seluruh tebu dunia dan memenangkan persaingan produksi gula bit dari Eropa.

Pada 1921 POJ merilis varietas unggul tebu POJ 2878 yang dijuluki “the wonder cane of Java”. Varietas ini hasil persilangan antarspesies, di antaranya tebu komersial (Saccharum officinale) dan gelagah (Saccharum spontaneum). Delapan tahun setelah dirilis, POJ 2878 telah ditanam di 90 persen areal tebu di Jawa dan kemudian berhasil menyelamatkan industri gula dunia yang nyaris rontok akibat penyakit sereh.

Tebu komersial sifatnya manis namun ringkih. Sedangkan gelagah memiliki sifat tumbuh cepat, tahan kekerasan, sabutnya tinggi, dan tahan genangan.

Beberapa waktu kemudian, lokasi kebun persilangan berangsur-angsur beralih dari Pasuruan ke Sempalwadak. Akhirnya, persilangan sepenuhnya dilakukan di Sempalwadak. Lokasi ini milik pabrik gula PT Kebon Agung (KBA) yang berdiri sejak 1905. 

Mengapa di Sempalwadak dan tidak di Pasuruan? “Karena ada beberapa klon varietas tebu tidak bisa berbunga di Pasuruan. Namun, di Sempalwadak bisa,” papar Wiwit. 

Pasuruan berada pada dataran rendah bahkan pada nol mdpl, sedangkan Sempalwadak terletak pada 421 mdpl. Ini membuat Sempalwadak ideal untuk lokasi pemuliaan tanaman tebu. Sedangkan pembungaan terjadi antara lain dipengaruhi kelembaban, suhu udara, dan sinar matahari.

Tebu yang dikawinkan akan menghasilkan biji yang kemudian diseleksi sampai berulang kali. Untuk memperoleh varietas yang diinginkan, prosesnya bisa mencapai 10 hingga 12 tahun atau lebih. Menurut Wiwit, persilangan di Sempalwadak lebih banyak berhasil.

“Biji-biji tebu yang dihasilkan di Sempalwadak mempunyai tingkat viable yang tinggi, bernas, dan tidak mandul,” jelas Wiwit.

Proses penamaan verietas yang dihasilkan P3GI pun mengalami perubahan. Sejak nasionalisasi POJ hingga bermuara menjadi P3GI, varietas yang dihasilkan mendapat kode awal nama PS, singkatan dari Pasuruan. Baru pada 2016, P3GI dan KBA meningkatkan kolborasi antara lain kerja sama uji multilokasi. Penamaan varietas hasil kolaborasi ini berkode awal PSKA.

Salah satu yang kini dipakai KBA adalah PSKA 942 yang dirilis 2019 dengan SK Kementan pada 2020. Tumbuh menjulang tinggi, tebu ini mampu melampaui dua kali tinggi manusia dewasa. Batangnya tegak menunjuk ke langit. Varietas ini memiliki potensi rendemen sebesar 12,19 persen. 

Kelebihan lainnya, PSKA 942 juga tahan terhadap genangan. Hal ini terbukti ketika diuji tanam di lahan pabrik gula KBA di Trangkil, Pati, yang terletak di zona cekungan air tanah (CAT).  

“PSKA 942 ini bahkan sudah sampai ke Merauke. Saat ini juga ditanam di PTPN 2 di Kebun Bibit Pokok Utama (KBPU) milik PTPN 2,” kata Wiwit sambil menambahkan bahwa varietas ini juga cocok di lahan tebu di pabrik gula Bungamayang, Lampung.

Salah satu karya P3GI yang sedang diuji PG Kebon Agung dan PG Trangkil adalah varietas unggul harapan PSKA 011-1519. Wiwit menunjukkan tebu varietas ini yang tumbuh menjulang tinggi.   

Plasma nuftah jangan punah

Dengan sejarah yang panjang, saat ini Kebun P3GI Pasuruan melestarikan koleksi plasma nutfah atau tetua sekitar 2.300 aksesi yang terdiri dari tebu asli atau noble cane dan tebu liar. Sedangkan koleksi tetua

Menurut Wiwit sebagai pemulia tanaman tebu, Sempalwadak amat penting dan perlu dijaga karena menjadi aset yang tidak boleh punah. Plasma nutfah itu harus dipertahankan sepanjang masa.

“Jika tetua-tetua tebu itu punah, kita tidak bisa lagi menciptakan varietas baru yang sesuai kebutuhan zaman. Kebutuhan zaman selalu berubah-ubah dan gen-gen yang dibutuhkan ada dalam plasma nutfah itu,” kata Wiwit.

Menurutnya, menciptakan tebu varietas unggul tidak mudah. “Karena antara lain perlu ilmu, teknologi, dan koleksi tetua,” ujar Wiwit. (yeyen)