Singh menyalahkan gelombang panas, musim hujan yang tak menentu dan hama merusak tanamannya.

Ini Tantangan yang Dihadapi Petani Tebu India

Jumat, 10 Maret 2023, 21:43 WIB

Tingginya permintaan tebu mendorong petani menanam lebih banyak varietas baru yang lebih produktif tapi kurang kuat. | Sumber Foto:Needpix

AGRONET -- Beberapa bulan terakhir, cerobong besar di pinggir Kota Meerut, Uttar Pradesh menghasilkan asap tebal. Dari Oktober sampai April merupakan musim panen tebu, ketika penggilingan di seluruh negara bagian di utara India itu memproses batang-batang tebu. Namun, pasokan tebu untuk industri gula menurun.

Petani tebu di Desa Nanglamal yang berjarak satu jam dengan mobil dari Kota Meerut, Arun Kumar Singh khawatir. Panennya pada musim 2021-2022 turun hingga 30 persen. Biasanya ia mendapatkan 140 ribu kilogram dari lahannya yang seluas lima hektar tapi tahun lalu ia hanya mendapatkan 100 ribu kilogram.

Singh menyalahkan gelombang panas, musim hujan yang tak menentu dan hama merusak tanamannya. Ia mengatakan tingginya permintaan tebu mendorong petani menanam lebih banyak varietas baru yang lebih produktif tapi kurang kuat.

"Varietas ini baru diperkenalkan delapan tahun yang dan membutuhkan banyak air setiap tahunnya, lagi pula wilayah kami kekurangan air," katanya seperti dikutip dari Eco-Business yang ditinjau Jumat (10/3/2023).

Daerah sekitar Nanglamal merupakan pusat penghasil etanol dari tebu, di negara bagian penghasil tebu terbesar di India. Tapi di seluruh Uttar Pradesh dan di sebagian besar India, produksi tebu turun. Di saat yang sama pemerintah pusat ingin pabrik gula menghasilkan lebih banyak etanol dengan memanfaatkan kelebihan tebu.

Etanol dapat dihasilkan dari eter petrokimia atau tebu, jagung dan biji-bijian yang disebut bioetanol atau biofuel. Karena tanaman ini dapat ditumbuhkan kembali, biofuel masuk kategori sumber energi terbarukan.

India menghasilkan lebih banyak gula dari yang mereka gunakan. Pada musim 2021-2022, India menghasilkan 39,4 juta metrik ton. Sekitar 26 juta untuk konsumsi dalam negeri. Sejak 2019 India sudah menangani kelebihan ini dengan mengekspornya, tahun lalu India mengekspor lebih dari 10 juta ton.

Namun, pemerintah mengeklaim bahwa memproduksi etanol lebih menguntungkan. Alasan mereka, pembayarannya lebih cepat dan arus kas yang lebih baik untuk pabrik.

Selama ini, India mengimpor banyak bahan bakar. Pada 2020-2021 India mengimpor 185 juta ton bensin yang menghabiskan dana sebesar 55 miliar dolar AS.

Arun Kumar Singh mengatakan, pemerintah mensubsidi produksi dan menaikkan harga etanol agar menguntungkan pabrik gula. Tapi petani tidak mendapat keuntungan dari kebijakan itu.

Tebu biasanya tumbuh dari pemotongan, panen turun setelah lima sampai tujuh tahun. Tingginya permintaan pabrik gula pada sukrosa, mendorong petani untuk mengganti varietas tanamannya dan menggunakan pupuk dan pestisida.

Petani juga harus menanggung kerugian akibat perubahan iklim seperti gelombang panas tahun lalu. Singh mengatakan, varietas di lahannya yang ditanam di seluruh India, membutuhkan lebih banyak pupuk dan pestisida setiap tahunnya.

"Dari penyemprotan pestisida sekali per setiap siklus panen atau bahkan kurang dari, saya menjadi menyemprotkannya tujuh kali setiap tahun," katanya.

"Satu botol pestisida seharga 22 dolar AS dan bisa digunakan sekitar tiga akre lahan, saya memiliki (30 akre) dan saya harus menyemprotkannya tujuh atau delapan kali pada musim ini, pemerintah mungkin meningkatkan profit pabrik gula untuk etanol tapi kami dibayar harga yang sama untuk tebu yakni 4 dolar AS per kuintal," kata petani lainnya di Nanglamal, Sudar Tomar. (tar)