Wayan Supadno | Sumber Foto:Dok. Pribadi
AGRONET -- Data hasil analisa dari Litbang Kompas bahwa Indonesia mulai impor sapi sejak tahun 1990 dengan jumlah tidak seberapa. Tapi tahun 2022 sudah sebanyak 276.000 ton daging murni atau setara dengan 2,1 juta ekor sapi Bali jantan hidup 350 kg.
Jumlah impor setara dengan 2,1 juta ekor sapi jantan 350 kg tersebut. Setara dengan kelahiran dari indukan 3 tahun lalu sebanyak 5 juta ekor. Jika diasumsikan lazim 33% rendemen daging dari bobot sapi hidup. Setara dengan menguras devisa Rp 45 triliun/tahun.
Kapital terbang Rp 45 triliun/tahun tersebut untuk menyejahterakan peternak luar negeri. Artinya menghilangkan kesempatan kerja rakyat peternak Indonesia sebanyak 1 juta kepala keluarga, jika butuh pendapatan Rp 45 juta/KK/tahun. Sebanyak 1 juta KK jadi pengangguran atau TKI.
Pendek kata, rakyat Indonesia tidak terberdayakan bahkan kalah. Justru besarnya potensi pasar daging sapi dinikmati peternak luar negeri makin banyak lagi. Pangsa pasarnya sapi impor makin meluas. Sangat efektif mengkerdilkan profesi peternak dalam negeri.
Harga daging sapi di Indonesia juga terus meroket linier dengan volume impornya. Harga daging sapi Rp 50.000/kg tahun 2008. Tahun 2022 tembus Rp 134.000/kg daging sapi. Artinya pangan khususnya protein hewani dari sapi makin jadi beban masyarakat Indonesia.
Padahal Presiden Jokowi sudah berulang kali menekankan agar meminimalkan stunting (kerdil, retardasi mental, malnutrisi). Akibat dari kurang protein hewani. Jumlah stunting tahun 2022 masih 21,6?n balita 34% akibat kurang protein hewani. Idealnya negara sehat siap kompetisi maksimal stunting 5%.
Artinya tingginya stunting di Indonesia erat kaitannya dengan pendapatan per kapita yang rendah. Dampak dari peternak kalah dan tutup lalu menganggur. Akibat juga kurangnya pasokan sapi lalu harga daging mahal hingga Rp 134.000/kg tahun 2022.
Lalu apa solusi permanen meniadakan sebabnya, bukan sekedar meniadakan gejala/simtomatisnya saja ?
1. Pemerintah harus ingat janjinya, konsisten. Bahwa harga pangan tidak mahal, stunting maksimal 10%. Kembali pada visinya masyarakat diberdayakan jadi peternak sapi untuk mengisi permintaan pasar yang kurang 2,1 juta ekor/tahunnya. Agar mandiri dan berdaulat.
2. Langkah - langkahnya, impor sapi betina produktif atau syukur jika bunting sebanyak 5 juta ekor. Saat ini kesempatan emas impor sapi bunting karena di Australia over populasi sapi hingga di atas 26 juta ekor. Di Australia penduduknya hanya 25,5 juta jiwa. Di Indonesia hanya 18 juta ekor dengan penduduk 273,8 juta jiwa. Membentuk harga murah Rp 13 juta/ekor di Pelabuhan Tanjung Priuk.
3. Jika impor 5 juta ekor sapi betina produktif hanya setara Rp 65 triliun saja. Setahun lagi akan beranak 4 juta ekor, 50% nya jantan setara 2 juta ekor. Pas jumlahnya dengan yang kita impor. Maka 3 tahun lagi anaknya yang 2 juta ekor siap potong membendung impor.
4. Jika itu dikreditkan ke peternak terampil atau hibah parsial maka akan cipta lapangan kerja bagi 1 juta kepala keluarga mengurangi pengangguran. Jika dintegrasikan di sawit rakyat maka akan mengurangi impor pupuk kimia NPK, pupuk kandang menjaga kesuburan lahan.
5. Karena 5 juta ekor sapi indukan akan menghasilkan pupuk kandang minimal 20 juta ton/tahun, indeks 4 ton feses kering angin/ekor/tahun. Terus akan makin banyak dari tahun ke tahun seiring tambah populasi akibat indukan impor beranak dan bercucu cicit, ibaratnya.
Masalahnya ?
Hanya satu saja, mau serius atau hanya slogan kalau mau swasembada sapi. Sadar atau tidak, bahwa stunting di Indonesia no 2 terbelakang di Asean setelah Timor Leste. Sadar atau tidak amanah pada syair Lagu Kebangsaan Indonesia Raya berbunyi " Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya. Untuk Indonesia Raya....".
Sumber :
Wayan Supadno
Jumat, 21 Maret 2025
Kamis, 27 Februari 2025
Senin, 13 Januari 2025
Senin, 30 Desember 2024
Minggu, 22 September 2024
Minggu, 22 September 2024
Kamis, 11 Januari 2024
Sabtu, 22 Februari 2025
Selasa, 18 Februari 2025
Senin, 17 Februari 2025