Inspirasi Telo Bag, ’Kantung Kresek Telo’

Kamis, 27 Juni 2019, 19:50 WIB

Plastik sebagai bahan baku kemasan sudah saatnya ditinggalkan | Sumber Foto:Glexindo

Ibnu, seorang karyawan lembaga penelitian, biasa pesan Bubur Kwantung. Setiap waktu tertentu, ia membeli bubur itu ke resto Kwantung di kawasan Pecenongan, Jakarta.  Biasanya ia memesan secara daring. Bubur ikan plus telor dadar khas restoran tersebut. Tanpa berlama-lama ia akan mendapat kiriman bubur itu dan menikmatinya.

Baginya Itu hal biasa. Sampai kemudian bulan lalu ia terkejut. Kantung sebagai tempat makanan  pesanannya tak seperti kresek plastik biasanya.  Kresek ini lebih lentur dan terasa lembut di tangan. Di kantung lembut itu pun tertera tulisan sederhana namun artistik dengan warna hijau. NO PLASTIC PLEASE.  Sebuah jenama dengan logonya terpasang di bawahnya. Telo Bag.

Sedikit informasi itu cukup untuk menyampaikan pesan. Kantung kresek itu bukan terbuat dari plastik, melainkan dari bahan lain. Apa bahan lain itu? Bagi orang Jawa, penyebutan telo dalam bagian dari jenama Telo Bag cukup menjadi pentunjuk.  Bahan untuk kantung itu adalah telo. Singkong atau casava. Nama ilmiahnya Manihot utilissima. Singkong ditepungkan, dan diproses lebih lanjut hingga menjadi seperti plastik.

Secara teknologi, di zaman kini, pembuatan ’plastik singkong’ itu bukan luar biasa. Yang lebih luar biasa adalah ketekunan untuk mengembangkan hingga produk itu berdaya guna sehari-hari. Itu yang dilakukan oleh usaha Telo Bag.  Pekerjaan yang tentu tidak mudah. Sebelum dapat menjual, mereka harus mengedukasi dulu para calon penggunanya tentang pentingnya kantung non plastik.

BERITA TERKAIT

Beberapa materi edukasi langsung ditulis di produknya. Seperti keterangan bahwa produk itu akan ”kembali ke alam”,  terdekomposisi sebagaimana bahan-bahan kertas. Juga bahwa bahan itu ”tidak beracun untuk hewan dan tanaman”, ”larut di sungai dan laut”, hingga ”tak mengandung partikel plastik”.

Di luar itu, masih banyak bentuk edukasi lain yang dilakukan usaha berkantor di Tangerang ini. Di antaranya dengan membuat animasi kartun berjudul Telo Tales, yang salah satu episodenya adalah The Earth is Sad.  Digambarkan bahwa Bumi tengah bersedih. Bumi senang dengan air sungai yang mengalir. Namun ia sedih karena begitu banyak sampah plastik yang mencemari sungai itu. Telo tampil jadi pahlawan dengan mengalahkan Raja Plastik hingga jadi teman sejati Bumi.

Pesan itu sangat relevan dengan isu lingkungan global sekarang. Sampah plastik menjadi masalah besar lingkungan saat itu, selain masalah pemanasan global. Tanah-tanah, sungai, hingga laut menjadi tidak sehat karena sampah plastik. Lumba-lumba dan paus mati karenanya hanya sebagian kecil dari masalah sampah plastik. Bahan yang teramat sulit terurai di alam hingga memakan waktu setidaknya 100 tahun ke depan.

Telo Bag ikut membangun kesadaran lingkungan itu. Kesadaran yang juga makin perlu diperkuat di pertanian. Dalam seperembat abad terakhir, kesadaran lingkungan di pertanian memang telah bangkit.  Terutama melalui gerakan pertanian organik. Agro yang menuntut sistem produksi yang ramah alam secara lestari. Pemakaian pupuk organik serta pestisida organik pun makin berkembang.

Langkah itu perlu diperluas. Bukan saja produksi yang harus ramah lingkungan. Pertanian juga perlu lebih ditajamkan untuk menjawab persoalan lingkungan. Selama ini, pertanian lebih banyak semata untuk menjawab kebutuhan pangan. Padahal sebenarnya banyak hal yang data dijawab oleh pertanian. Termasuk menjadi jawaban terhadap tuntutan atas kebutuhan lingkungan.

Terobosan Telo Bag mengingatkan itu. Pertanian hendaknya bukan saja untuk memenuhi kebutuhan pangan, namun juga lingkungan. Hal yang, pada tingkat tertentu, sudah mulai berkembang. Dari agroindustri sawit, misalnya.  Secara tradisional, sawit dipakai untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kemudian mulai masuk indusri kesehatan melalui olahan minyaknya. Namun dalam tiga tahun terakhir ini juga dipakai untuk membidik masalah lingkungan.

Pengembangan biodiesel dari sawit salah satunya. Yakni penggunaan minyak nabati berbahan sawit untuk mesin diesel. Campuran minyak solar dengan 20 persen minyak sawit, lebih dikenal dengan B20, telah siap digunakan secara massal. Minyak B100 pun sudah selesai diuji coba, baik di lingkungan Kementerian Pertanian maupun oleh Institut Teknolog Bandung, untuk dapat menggantikan minyak bumi sepenuhnya.

Bidikan untuk menjawab kebutuhan nonpangan jelas akan menguatkan pertanian. Terutama dari sisi pengolahan hasil. Hal yang selama ini kurang berkembang di level masyarakat petani bawah. Dengan perluasan sasaran, akan semakin banyak produk yang dapat dikembangkan dari pertanian. Itulah yang akan mengangkat agrobisnis rakyat untuk dapat naik ke jenjang lebih maju.

Usaha Telo Bag juga menginspirasi agar petani tidak berhenti sekadar memproduksi komoditas. Lebih dari itu adalah agar mengolah suatu komoditas tertentu secara terfokus hingga menjadi produk yang memiliki nilai tambah tinggi. Hanya dengan cara itu masyarakat petani akan dapat hidup lebih Makmur, sekaligus membantu memenuhi kebutuhan publik lainnya. Seperti kebutuhan membangun lingkungan yang sehat.

Ada ribuan produk yang dapat dikembangkan dari komoditas pertanian di Indonesia bila ditekuni dan digarap secara intensif. Termasuk produk-produk untuk memenuhi kesadaran baru terhadap masalah lingkungan dan juga kesehatan. Keberadaan ’kantung kresek telo’ sedikit banyak menginspirasi kita buat melangkahkan pertanian ke sana.*  

Zaim Uchrowi, Ketua Dewan Redaksi AGRONET   

BERITA TERKAIT