Wayan Supadno | Sumber Foto:Dok. Pribadi
AGRONET -- Setiap kali ada barang impor masuk, selalu jadi sebab kegaduhan sosial. Utamanya sektor pangan, jadi sebab demotivasi petani peternaknya, ribut. Karena produk kita kalah murah dibandingkan barang impor. Tidak kompetitif.
Ini " hanya akibat " saja. Akibat dari harga pokok produksi (HPP) yang tinggi. HPP jadi tinggi karena biaya produksinya terlalu tinggi tapi menghasilkan volume rendah. Komponen biaya produksi tinggi banyak sekali.
Contoh konkret :
Padi.
Biaya produksi selama 1 musim sekitar Rp 18 juta/ha. Menghasilkan 6 ton GKP/ha. Maka HPP Rp 18 juta : 6 ton = Rp 3.000/kg. Jika harga jual Rp 3.000/kg maka petani remis tanpa laba. Jika harga jual Rp 4.000 maka laba Rp 1.000/kg. Jika 6 ton maka labanya Rp 6 juta/ha/musim.
Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah, peneliti dan petani ?
Tentu bersinergis agar biayanya di bawah Rp 18 juta/ha. Tapi menghasilkan di atas 6 ton GKP/ha. Sehingga HPP-nya di bawah Rp 3.000/kg dan bisa bersaing dengan beras impor. Ini esensinya dari daya saing sebuah bangsa.
Pemerintah membangun iklim usahanya misal bunga bank rendah, jalan dan irigasinya direvitalisasi dan lainnya, agar biaya produksinya murah lagi. Peneliti melakukan riset benih agar riil 9 ton/ha. Petaninya adaptif dengan hasil inovasi dan menikmati iklim usahanya.
Harapannya, agar biaya produksi berubah jadi Rp 15 juta/ha. Hasilnya berubah jadi 7,5 ton. Maka HPP-nya Rp 15 juta : 7,5 ton = Rp 2.000/kg. Otomatis laba petani lebih banyak lalu sejahtera betah jadi petani dan berani bersaing dengan beras impor. Tanpa harus gaduh ketakutan.
Usaha apa pun jika mau bersaing harga dengan produk pihak lain, harus mampu berpikir kreatif agar HPP serendah mungkin. Pendekatannya dengan " mempraktikkan " ilmu pengetahuan teknologi dan inovasi di lapangan. Didukung iklim usaha oleh pemerintah.
Tapi jika pemerintah tidak mau peduli dengan iklim usaha melalui politik anggaran berpihak dan penjabaran di lapangan hanya bansos dan subsidi. Maka jangan heran kalau selama ini ada 5,1 juta KK petani selama 10 tahun pada alih profesi (BPS Hasil Sensus Pertanian Terakhir).
Begitu juga peneliti, jika hanya diklaim oleh Rektor IPB Prof Satria, benihnya bisa 12 ton GKP/ha. Hanya di kampus saja, tidak di lahan - lahan petani. Buktinya selama ini produktivitas nasional hanya 5,4 ton/ha (BPS). Maka petani tetap menderita kalah bersaing, lalu berpaling.
Sekalipun biaya riset tersebut dari APBN pajak rakyat termasuk petani. Begitu juga APBN yang harusnya membangun iklim usaha pangan juga dari pajak petani. Ini harus segera disadari bersama secepatnya. Agar dampaknya impor pangan tidak berkepanjangan makin besar saja volumenya.
Sekali lagi, tidak usah heran. Saya sama sekali tidak heran jika impor pangan kita makin besar saja volume dan nilai kapital terbangnya. Karena memang volume produksinya kurang banyak sekali, jika kurang maka harga mahal lalu inflasi naik, ini sangat berbahaya jika liar tak terkendali.
Juga jangan heran jika pangan kita termahal se-Asean. Karena HPP-nya termahal se-Asean. Dampak dari iklim usaha pangan terjelek se-Asean. APBN-nya hanya banyak jadi progja bansos dan subsidi non edukatif. Sekalipun APBN ke pedesaan dan pertanian Rp 125 triliun/tahun, berlipat dibandingkan 10 tahun lalu.
Tapi masih kurang, idealnya Rp 300 triliun/tahun atau 10?ri APBN. Ingat jika pangan langka maka makin mahal, inflasi akan meroket. Ini sangat berbahaya, harus cepat dikendalikan. Alasan biaya hidup akan makin mahal, berpotensi kemiskinan akan tambah. Ruwet jadinya.
Sumber :
Wayan Supadno
Minggu, 09 Februari 2025
Sabtu, 18 Januari 2025
Senin, 13 Januari 2025
Senin, 13 Januari 2025
Senin, 30 Desember 2024
Minggu, 22 September 2024
Minggu, 22 September 2024
Kamis, 11 Januari 2024
Senin, 30 Desember 2024
Kamis, 31 Oktober 2024
Kamis, 31 Oktober 2024