Akhiri Polemik Data Beras, Fokus Sejahterakan Petani

Selasa, 30 Oktober 2018, 20:33 WIB

Ilustrasi | Sumber Foto:Istimewa

Pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data baru beras. Berdasar data tersebut, beras nasional surplus 2,8 juta ton. Perhitungan data terbaru BPS ini menggunakan metode kerangka sampel area (KSA) untuk menghitung luas panen padi berupa gabah kering giling (GKG) yang kemudian dikonversi menjadi proyeksi produksi beras secara nasional. Data ini merupakan penyempurnaan dari data BPS sebelumnya yang menggunakan metode klasik atau metode eyes estimated.

Fakta menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode baru KSA, produksi padi pada tahun 2018 terbukti masih lebih tinggi dari kebutuhannya. Melihat kenyataan ini, Bapak Wakil Presiden RI menegaskan bahwa tahun ini tidak ada impor beras. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Kepala Dirut Perum Bulog bahwa stok beras nasional aman sampai dengan pertengahan tahun depan. Adanya pendapat sejumlah pihak yang masih berpikir perlunya impor dikhawatirkan dapat mendemotivasi petani padi. Padahal semua tahu bahwa “jika petani tidak menanam, bangsa ini tidak makan.”

BPS merupakan satu-satunya lembaga yang menjadi referensi acuan data nasional. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik menegaskan hal itu. Maka, sebagaimana berlangsung selama ini, Kementerian Pertanian selalu pada perhitungan data dari BPS. Termasuk data berdasar metode baru KSA sekarang serta mendatang. Oleh karena itu, polemik mengenai data produksi beras nasional yang sempat berkembang beberapa waktu terakhir ini sudah saatnya diakhiri karena memang tidak relevan. Apalagi setelah pemerintah melalui BPS menegaskan penggunaan metode baru untuk menghitung produksi beras tersebut.

Yang perlu menjadi perhatian bersama adalah bagaimana mewujudkan kedaulatan pangan serta meningkatkan kesejahteraan petani. Dua hal tersebut perlu menjadi perhatian seluruh bangsa, dan keduanya memang menjadi misi utama Kementerian Pertanian dalam empat tahun terakhir ini serta pada tahun-tahun mendatang. Untuk dapat memenuhi kedua misi tersebut, Kementerian Pertanian memahami banyaknya tantangan yang dihadapi. Untuk itu pola pikir out of the box perlu dikembangkan. Setiap tantangan perlu dipandang sebagai kesempatan yang justru menguntungkan dalam upaya mewujudkan kedaulatan pangan.

Salah satu persoalan yang membayangi sektor pertanian sejak lama adalah konversi lahan pertanian. Di sejumlah sentra produksi pertanian, lahan produktif memang beralih fungsi menjadi lahan perumahan maupun industri. Tapi kondisi ini tak sepantasnya membuat kita berpangku tangan.

Mengantisipasi hal tersebut di atas, Kementerian Pertanian menjalankan program Perluasan Areal Tanam Baru (PATB). Untuk meningkatkan luas areal tanam baru, Kementan tidak lagi terpaku pada lahan sawah, baik yang irigasi maupun non irigasi, tetapi juga telah memanfaatkan lahan rawa dan lahan kering yang jumlahnya diperkirakan 1,2 juta hektare. Berdasarkan data Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) total lahan rawa yang berpotensi untuk dikembangkan 9,52 juta hektare. Lahan tersebut tersebar di berbagai wilayah seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Lampung.

Pemanfaatan teknologi dan sinergi berbagai pihak perlu ditingkatkan sehingga rawa dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produksi pangan. Kementerian Pertanian memberikan dukungan mekanisasi pertanian seperti eskavator dan melakukan pembangunan irigasi. Penggunaan varietas adaptif lahan rawa juga dipercaya akan mendorong keberhasilan budidaya tanaman di lahan rawa. Varietas padi unggul yang adaptif terhadap genangan memungkinkan produktivitas padi di lahan rawa mencapai 6 hingga 9,5 ton per hektare. Selain itu, pemanfaatan lahan rawa dilakukan dengan menjalin kerja sama antara pemerintah pusat, TNI, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Fokus Sejahterakan Petani

Persoalan kedaulatan pangan tidak hanya terbatas pada pengelolaan sumber daya alam. Potensi sumber daya alam tidak dapat termanfaatkan maksimal tanpa dukungan sumber daya manusia yang mumpuni. Karena itu, segala kebijakan Kementerian Pertanian menitikberatkan pada capaian utama yakni kesejahteraan petani. Hal ini terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang menjadi tolak ukur daya beli petani terus meningkat. NTP dari bulan Januari hingga September 2018 mencapai 102,25 atau naik 0,27 persen dibandingkan NTP pada periode bulan yang sama pada tahun 2014 yang sebesar 101,98 persen.

Kesejahteraan petani juga terlihat dari membaiknya Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) dalam beberapa tahun terakhir. Data BPS menyebutkan tahun 2014 nilai NTUP (Pertanian Sempit tanpa Perikanan) hanya sebesar 106,05, namun dan 2015 dan 2016 berturut-turut meningkat menjadi 107,44 dan 109,83. Nilai NTUP pada tahun 2017 juga kembali membaik menjadi 110,03.

Regenerasi petani juga menjadi perhatian pemerintah. Hal tersebut dituangkan antara lain melalui kebijakan anggaran yang difokuskan untuk bantuan sarana dan prasarana pertanian yang dapat digunakan petani untuk berproduksi. Selama hampir empat tahun kepemimpinan Andi Amran Sulaiman di Kementerian Pertanian, anggaran operasional untuk biaya seminar, perbaikan kantor, hingga biaya membeli kendaraan dipangkas dari yang awalnya sebesar 48 persen, saat ini menjadi tinggal 8 persen. Sebanyak 85 persen anggaran tahun 2018 digunakan untuk sarana dan prasarana pertanian.

Berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan RI, pagu anggaran Kementan Tahun Anggaran 2019 sebesar Rp 21,7 triliun. Porsi terbesar anggaran itu dialokasikan untuk Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil Tanaman Pangan sebesar Rp 6 triliun. Selanjutnya adalah Program Penyediaan dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pertanian sebesar Rp 5,1 triliun.

Layak pula disyukuri bahwa selama empat tahun ini, kebijakan yang dijalankan Kementerian Pertanian telah mendorong peningkatan ekspor pertanian Indonesia. Ekspor pertanian tahun 2017 tercatat nilai meningkat 24% dibanding tahun sebelumnya, sementara itu angka impor beberapa komoditas pertanian strategis telah menurun. Pada tahun 2017, Indonesia telah berhasil mengekspor beras khusus 3.456 ton, bawang merah 7.623 ton dan jagung 1.879 ton ke beberapa negara. Pada tahun 2018 prestasi ini kembali berulang.

Berdasarkan data ekspor sementara hingga bulan Agustus 2018, tercatat ekspor beras konsumsi sudah mencapai 3.081 ton, meningkat 118% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara bawang merah 3.038 ton, meningkat 71%. Ekspor jagung segar bahkan mencatat pertumbuhan ekspor yang fantastis yaitu meningkat 21.476?ri periode Januari – Agustus 2017 yang hanya 1.241 ton menjadi 267.859 ton pada periode sama tahun ini. Hingga akhir tahun nanti, catatan ini bisa jauh lebih baik lagi.

Keberhasilan kita mengekspor sejumlah komoditas strategis tentunya menumbuhkan harapan bahwa Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia. Kementan telah menetapkan visi bahwa Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia pada tahun 2045. Bagi sejumlah pihak, target ini dipandang mustahil dicapai. Tapi dengan kerja keras dan optimisme dari semua kelompok masyarakat, data diyakini bahwa Indonesia tidak hanya akan mandiri pangan, tapi menjadi negara yang menjadi lumbung pangan bagi negara-negara lainnya.

Berbagai terobosan dan capaian besar telah terjadi di sektor pertanian selama empat tahun ini. Hal tersebut menegaskan bahwa posisi Kementerian Pertanian dari awal hingga saat ini jelas berada di sisi petani, yakni bekerja keras membantu petani agar terus bergairah untuk menanam dan berproduksi. Jelaslah bahwa sudah saatnya polemik data beras diakhiri, dan semua fokus bekerja untuk sejahterakan petani.


*Syukur Iwantoro, Sekjen Kementerian Pertanian RI

BERITA TERKAIT