Rachmat Pambudy Setia Kawal Agribisnis

Minggu, 14 Januari 2018, 16:56 WIB

Rachmat Pambudy

AGRONET - Ingat Vereenigde Ostindische Compagnie alias VOC?  Perusahaan dagang Yahudi Belanda yang dibentuk tahun 1602 itu adalah bukti nyata betapa kaya tanah Nusantara ini. Dengan berbisnis rempah dari Nusantara, VOC  segera melesat maju.  Belanda pun menjadi  bangsa paling makmur di dunia saat itu. Sejarah masa lalu itu terbayang betul di benak Rachmat Pambudy, praktisi agribinis ini.

“Bangsa lain makmur karena produk pertanian kita,” kata Rachmat, “seharusnya  kita bisa lebih makmur lagi.” Itu yang membuatnya tidak mau berpaling dari agribisnis, yang telah puluhan tahun ia tekuni.

Kemakmuran agro di Nusantara ini sudah dikenal lama. Bahkan sebelum masa VOC sekalipun. Istilah  Svarna Dwipa hingga Java Dwipa untuk pulau-pulau di kawasan ini merupakan sebutan yang menggambarkan kemakmuran. Di abad-abad pertengahan, kapal-kapal pinisi para saudagar Nusantara juga sudah lalu lalang di perairan Nusantara ini. Terutama buat mengangkut produk-produk pertanian.

Masuknya pedagang Eropa makin menggencarkan bisnis agro. Apalagi setelah mereka bukan saja berdagang rempah, namun juga melakukan budi daya melalui perkebunan-perkebunan besar.  Terutama di abad 19 saat dibuka kebun-kebun karet, teh, kopi, hingga tembakau. Ladang-ladang tebu pun dikembangkan, ditopang dengan pembangunan pabrik-pabrik gula yang moderen di masanya.

Begitu makmur kawasan ini, hingga Raja Thailand Chulakongkorn  merasa perlu mengunjungi Indonesia tiga kali, yakni pada tahun 1871, 1896, dan 1901.  Patung gajah yang kini ada di depan Musium Nasional adalah oleh-olehnya. Raja yang berjulukan Raja Rama V itu pun mempelajari agribisnis yang berkembang di Nusantara. Bahkan membawa pulang ke Thailand puluhan tukang kebun dari Jawa yang kemudian dijadikan ahli-ahli pertanian di sana. Itulah yang awal mengapa Thailand menjadi salah satu negara termaju di bidang pertanian saat ini.

Sejarah pertanian itu terpatri betul pada diri Rachmat yang berulang kali mengingatkan : “Jangan pernah lupakan sejarah dalam membangun pertanian kita.”  Yakni sejarah bahwa Indonesia pernah menjadi pusat pengembangan agribisnis dunia. Fakta masa lalu yang kini sedikit terabaikan kecuali pada komoditas tertentu. Seperti misalnya pada komoditas sawit.

Bagi Rachmat, agribisnis memang menjadi perjalanan hidupnya. Lahir dan besar di lingkungan elit Jakarta, dia bisa saja masuk  ke dunia lain yang lebih gemerlap ketimbang pertanian.  Namun selulus SMA tahun 1979, ia justru memilih kuliah di IPB. Kuliah yang lebih mengarahkannya ke bidang peternakan.  Nalurinya berwirausaha mengantarkannya untuk membuka usaha peternakan saat dirinya masih mahasiswa.

“Saya kembangkan peternakan puyuh di Sukabumi,” katanya. Peternakan berbendera PT Golden Quail Farm yang dibangunnya bersama mitra bisnisnya bukan saja menjadi peternakan puyuh termaju di Indonesia, melainkan juga terbesar di Asia. Lulus kuliah membuatnya makin leluasa mengembangkan bisnis. Termasuk beberapa bisnis komoditas  yang bersinggungan dengan Bulog.

Tetapi justru itulah yang membuatnya harus menghentikan bisnisnya. Mertuanya, seorang menteri berpengaruh di masa kepemimpinan Presiden Soeharto, malah memintanya untuk menghentikan bisnis itu. “Beliau tak mau orang-orang menganggap  saya KKN,” katanya.  KKN adalah istilah untuk menunjuk praktek usaha yang terkait persekongkolan kekeluargaan. “Padahal saya bisnis murni, dan tekad saya menjadi pengusaha pertanian.”

Berhenti berbisnis, ia pun banting setir masuk kampus lagi. Yakni melanjutkan studi ke pasca sarjana IPB sambil memproses menjadi dosen. Saat itulah perspektifnya tentang agribisnis ia kembangkan. Terutama di bawah arahan guru besar agribisnis, Profesor Bungaran Saragih.  Meskipun studi hingga meraih doktornya, serta mapan sebagai dosen, naluri berwirausahanya terus menyala. Sesekali ia berbisnis agro. Termasuk menjadi importir daging.

Kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu agribisnis buat para petani terbuka lebar saat Bungaran Saragih diangkat menjadi Menteri Pertanian. Yakni  di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Kemudian juga di masa Presiden Megawati. Sebagai Staf Khusus Menteri, ia leluasa membantu menteri menjalankan prinsip-prinsip agribisnis ke dunia pertanian secara umum.

Bagi perusahaan-perusahaan besar, paradigma agribisnis sama sekali bukan masalah. Usaha-usaha tersebut sudah menjalankan kaidah agribisnis sejak lama. Namun agribisnis masih jauh dari kehidupan petani rakyat yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia. Secara istilah, agribisnis dimaknai sebagai “bisnis berbasis usaha pertanian.”  Dari sudut pandang budidaya itu berarti bertani yang berorientasi pada pasar. Kebanyakan petani belum beragribisnis, dan masih bertani secara tradisional.

Itu tantangan besar yang ditemui Rachmat saat terlibat di proses kebijakan.  Berbagai langkah pun dilakukan untuk meneguhkan iklim agribisnis. Baik berupa tindakan fiskal maupun non-fiskal. Usaha tersebut pun  segera berbuah. Produksi beras pun melimpah hingga harga beras nasional pun setara dengan harga beras dunia.  Perkebunan  sawit rakyat  meningkat hingga 40 persen. Belum lagi terbangunnya kelembagaan pertanian seperti  Badan Ketahanan Pangan, Badan Karantina, hingga Direktorat Jenderal Hortikultura. Semua itu terwujud dengan anggaran yang sangat rendah, yakni Rp 3 trilyun.

Selepas dari aktivitas di Kementerian Pertanian, Rachmat Pambudy pun bergulat dengan pengembangan organisasi petani, Yakni Himpunan Kerukunan Tani  Indonesia (HKTI). Di organisasi ini ia sempat menjadi Sekretaris  Jenderalnya, sebelum sekarang manjadi Wakil Ketua Dewan Pembina. Di sinilah ia punya waktu bersama para aktifis agribisnis dari seluruh Indonesia. “Saya berkesempatan membantu pengembangan agribisnis di daerah-daerah Timur,”  paparnya.

Untuk terus menyebarluaskan paradigma agribisnis, ia juga mengembangkan sejumlah penerbitan. Di antaranya adalah penerbitan buku-buku pertanian.  Juga mengembangkan majalah Info Agribisnis serta Info Bibit, Benih, dan Pupuk. Ia bahkan mengontrak  sejumlah pakar pertanian untuk dapat berkarya untuk mengembangkan  penerbitan agribisnis tersebut.

Selain itu, ia pun masih meluangkan waktu membantu Bulog dalam menstabilkan peredaran gula di Indonesia. Yakni melalui PT Gendhis Manis Madu yang menjadi anak perusahan BUMN tersebut. Ia memang sangat peduli pada urusan gula. Seabad silam, Indonesia adalah pemasok gula terbesar di dunia. Sukses itu bukan saja mengantarkan Oei Thiong Ham sebagai pebisnis gula kelas dunia. Juga membuat para petani gula di berbagai wilayah merasakan kemakmurannya.

“Saat ini,” menurut Rachmat, “Kualitas tebu kita sangat buruk. Tingkat rendemen gulanya kurang dari separuh dibanding dua abad lalu”  Sebuah kondisi yang menurutnya perlu perlu menjadi perhatian serius semua. Gula sudah terbukti pernah membuat makmur masyarakat.  Maka, ia percaya, gula juga dapat menjadi lokomotif untuk menjadikan masyarakat lebih makmur ke depan.

Yang juga menjadi  perhatiaannya adalah pemenuhan daging sapi yang sekarang sangat kurang. Ia melihat kondisi Indonesia memang kurang ideal untuk dapat pembibitan sapi dalam skala besar agar ekonomis. Banyak kendala untuk itu, antara lain  keterbatasan jumlah indukan,  ketersediaan lahan, hingga ketertinggalan ilmu yng sangat jauh dari negara yang telah maju dalam peternakan sapi seperti Australia.

Dalam pandangannya, tidak ada salahnya Indonesia bekerja sama dengan negara lain seperti Australia. Yakni untuk menyediakan bibit sapi. Indonesia dapat menggemukkannya, dan bahkan menjadi eksportir daging sebab kurang ekonomis bagi negara tetangga itu buat menggemukkan sapi.  Beberapa kali Indonesia mencoba membeli perusahaan pembibitan sapi di Australia. Hal itu  diupayakan Menteri Pertanian Bungaran Saragih. Juga Menteri BUMN Dahlan Iskan. Namun kedua upaya itu terhenti karena ganti pemerintahan.

Model  itu disebut Rachmat serupa dengan  bisnis mie cepat saji Indonesia. “Dulu saya  terganggu oleh impor terigu kita yang perlu devisa sangat besar. Tapi sekarang kita jadi eksportir besar mie instant yang memberi devisa besar,” katanya.

Semua itu adalah praktik agribisnis skala besar, yang akan mampu menemukan jalannya sendiri dalam menghadapi setiap tantangan. Yang masih menjadi masalah adalah bagaimana mengagribisniskan usaha tani rakyat. Untuk itu, dalam pandangan Rachmat, pembangunan pertanian memang harus sepenuhnya didasarkan pada kondisi  lapangan. Yakni dengan terus mempertimbangkan segala kekuatan dan kelemahan nyata yang ada.

Selain itu, pembangunan pertanian juga harus didasarkan pada sejarah pertanian yang telah berjalan selama ini. “Tanpa bertumpu pada sejarah masa lalu, kita tak akan dapat melompat ke masa depan,” katanya. Kalau agribisnis di masa lalu mampu memakmurkan VOC dan Belanda, tentu agribisnis di masa depan juga akan mampu memakmurkan para petani gurem. Itu keyakinannya. Keyakinan yang membuat Rachmat Pambudy terus bersetia mengawal Agribisnis. (312)