Tri Mulyani Sang Guru Hidroponik

Minggu, 06 Mei 2018, 10:13 WIB

Tri Mulyani Sang Guru Hidroponik | Sumber Foto:269/agronet.co.id

AGRONET – Hidroponik lagi? Ya, hidroponik memang bukan lagi hal baru. Dalam masa seperempat abad terakhir, budidaya tanaman tanpa menggunakan media tanah ini sudah sangat menjamur. Mulai dari sebatas hobi maupun sebagai usaha komersial. Hasilnya juga mudah diperoleh di berbagai supermarket. Namun, di tangan Tri Mulyani, hidroponik punya nilai berbeda.

Ani, nama panggilan Tri Mulyani, bukan ‘anak daerah’.  Masa kecilnya jauh dari kebun dan sawah. Ia anak Jakarta, dan bersekolah di ‘SMA metropolis’ pada masanya, yakni SMA 70. Kuliah pun jauh dari bidang pertanian. Ia alumnus ITB, Bandung, jurusan Meteorologi dan Geofisika. Jurusan yang mengantarkan Ani dan suaminya berkarir di pertambangan, di Kalimantan.

Justru saat telah mapan di Kalimantan itulah, naluri menuntunnya ke dunia pendidikan. Menjelang peralihan abad sekaligus milenium tahun 2000, ia mendirikan Bimbel. Bimbingan Belajar. Motifnya sama sekali bukan komersial. “Niatnya membantu anak-anak tetangga mengerjakan pe-er mereka,” kata Ani. Tempatnya di mana lagi kalau bukan di rumahnya sendiri di Balikpapan.

Kepeduliannya mengantarkan melangkah lebih jauh. Yakni memotivasi anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk lebih berprestasi lagi di sekolah. Itu yang membuat rumahnya selalu ramai. Apalagi saat bulan Ramadhan, ketika mereka semua kumpul untuk berbuka Bersama. Sekitar 100-an anak berkumpul dengan celoteh dan candanya masing-masing. Sebuah suasana yang oleh Ani disebutnya “sangat ngangeni.”

Kepekaan Ani dan suaminya pada lingkungan, baik fisik mapun sosial, inilah yang mengantarkan pada hidroponik. Hidup sehat makin menjadi kebutuhan masyarakat. Sedangkan lahan semakin terbatas. Apalagi di lingkungan sekitar urban. Maka, hidroponik menjadi pilihannya. Ani dan suaminya pun belajar belajar hidroponik secara otodidak.

Bayam, bayam merah, kangkung, dan sawi mulai mereka coba untuk tanam. Sepetak tanah seluas 600 meter mereka gunakan sebagai laboratoriumnya. Bukan di Balikpapan, melainkan di daerah yang dekat dengan Jakarta yakni Tangerang Selatan. Ratusan titik tanam mereka tuntaskan sendiri tanpa bantuan ‘anak kebun’. Itu yang main memantapkan kemampuan berhidroponik.

Ani sangat ingat masa-masa awal berhidroponik itu. Saat itu, kata Ani, suaminya menanam sambal berdzikir untuk setiap titik tanamnya. Anak-anak kebun yang membantunya juga belum tahu teknisnya sama sekali. Maka, yang Ani dan suaminya lakukan kemudian adalah mengajari pekerjanya itu berhidroponik.

Setelah yakin dengan kemampuan sendiri, Ani pun menyebarluaskan ilmu berhidroponik itu. Dimanfaatkannya jaringan pertemanan sesama alumni ITB. Media sosial pun dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk keperluan itu. Dari sinilah Ani pun menjadi guru hidroponik, yang berkeliling ke berbagai tempat untuk untuk mengajarkan berhidroponik.   

Mula-mula mengajarkan pada teman-teman lamanya. Lalu temannya teman, sebelum kemudian meluas lagi. Dia menyiapkan paket pelatihan hemat namun sarat akan keilmuan.  “Pelatihan murah meriah yang penting peserta mampu bercocok tanam sampai panen,” kata Ani.

Setiap mengajar, Ani menjelaskan prinsip-prinsip bercocok tanam dengan sistem hidroponik secara utuh. Mulai dari kultur air statis hingga kultur air mengalir.  Namun, karena umumnya peserta tergolong pemula, Ani lebih menekankan pada sistem hidroponik dengan teknik kultur air statis. Yang penting, menurutnya, minimal peserta sudah mampu melakukan budidaya dengan sistem hidroponik dan biayanya murah.

Setelah pelatihan, Ani akan selalu membekali peserta dengan sejumlah peralatan dan bibit. Wadah dari botol plastik, media semai, bibit, kain flanel, dan nutrisi akan menjadi bekal ‘murid-muridnya’ untuk praktek di rumah. Ani ingin sebanyak mungkin orang mencintai hidroponik. Tetapi, menurutnya, ibu bukan hal mudah. Dari seluruh yang mengikuti pelatihannya, paling hanya 60 persen yang terus mendalami hidroponik.

“Kunci berhidroponik itu sabar,’ kata Ani. Disebutnya banyak faktor yang berpengaruh pada keberhasilannya. Terutama faktor alam yang tidak mudah ditebak. Tetapi, menurutnya, justru itulah faktor yang sangat penting dalam melatih kesabaran.  “Kalau alumni sudah mampu panen, berarti sudah lulus uji kesabaran,” canda Ani.

Karena itu, Ani oleh murid-muridnya dikenal sebagai guru yang ‘cerewet’. Ani tidak akan membiarkan muridnya diam setelah selesai mengikuti pelatihannya. Ia akan terus mengontak satu per satu, menanyakan seberapa jauh prakteknya masing-masing di rumah. Dia akan metrus memonitor perkembangan masing-masing muridnya, sampai memasyikan bahwa mereka berhasil memanen hasilnya.

Kesungguhannya membagikan ilmu hidroponik, telah mengantarkan memperoleh rekan-rekan baru.  Baik dari komunitas ibu rumah tangga, murid-murid sekolah, hingga komunitas pemulung.  Ani tidak padang bulu untuk melatih mereka.  Baginya, adalah kepuasan tersendiri manakala tahu bahwa mereka yang diajar mampu bercocok tanam dengan sistem hidroponik.

Apalagi saat melihat mereka saling bekerja sama, termasuk memasarkan hasil. “Komunitas hidroponik harus berkerja sama,” himbau Ani.  Keperluan bagi pelaku hidroponik untuk bersinergi disebutnya sangat nyata karena kebutuhan masyarakat produk hidroponik masih luas. Belum lagi manfaat lain yang dapat diperoleh. Seperti manfaat penghijauan, keindahan, hingga penguatan ikatan sosial masyarakat.

Maka, ia tak henti menyeru agar lebih banyak lagi yang mencintai hidroponik. Juga tak berhenti mengajarkan cara-cara berhidropik untuk pada kalangan manapun tanpa terkecuali. Itulah Tru Mulyani, sang guru hidroponik yang sekarang aktif di sekitar Jakarta-Bandung ini, yang juga lasak ke berbagai daerah lain di seluruh Indonesia ini. (269)