Komitmen

Minggu, 25 Desember 2022, 23:49 WIB

Zainal Abidin | Sumber Foto:Dok. Pribadi

AGRONET -- Pada tahun 1979, seseorang membantunya modal usaha sebesar Rp. 20.000,- untuk memulai usaha perdagangan alat-alat tulis. Dengan uang itu, ia membeli berbagai mata dagangan, dan mulai lah ia menawarkan dagangannya door to door. Tak mudah memang, tapi usaha itu tetap ditekuninya. Barang dagangan yang tak terjual, atau tak bisa dibawanya karena keterbatasan ruang di sepeda motornya, disimpan di rumah kontrakannya.

Walau putarannya lambat, usahanya terus berputar. Sedikit demi sedikit, ia mangangsur pinjaman yang diterimanya. Dalam 6 bulan, angsuran selesai dilunasi, plus sedikit tambahan sebagai tanda terima kasih. Walau tanpa perjanjian, ia tetap memberikannya dengan senang hati. Pemilik dana sempat menolak, tetapi lama-kelamaan akhirnya terpaksa menolak karena hampir setiap minggu ia mengantar satu dua kilogram buah-buahan ke rumahnya.

Usahanya terus melaju semakin cepat, sehingga ia pun membutuhkan suntikan modal lebih besar. Sekali lagi, ia mengetuk pintu orang yang pertama kali membantunya. Kali ini ia bisa pulang dengan membawa dana sebesar Rp. 200.000,- Ia ingat sekali, itu terjadi di bulan Maret 1981. Ia sudah berdagang di sebuah toko yang disewanya.

Dalam waktu satu tahun, ia berhasil kembali melunasi pinjamannya. Tentu saja plus sejumlah dana tambahan, walau tanpa diminta oleh pemberi pinjaman. Mungkin kejadian sebelumnya berulang kembali. Hubungan keduanya tetap berlanjut.

Tahun 1985, toko tempatnya berdagang mengalami kebakaran. Semua barang dagangannya ludes dimakan api. Untuk ketiga kalinya, ia mendatangi sang penyandang dana. Tanpa kesulitan ia memperoleh dana sebesar Rp. 500.000,- Saat ia menerima dana itu, ia minta izin untuk tidak mencicil seperti biasa. Pinjaman akan dibayar dalam jangka waktu satu tahun. Pemilik dana, tanpa pikir panjang menganggukkan kepalanya tanda setuju.

Setahun berlalu, ia mendatangi penyandang dananya. Maksudnya ingin mengembalikan dana pinjaman, sambil menawarkan kepemilikan saham di perusahaan yang akan dibuatnya. Tak tanggung-tanggung. Dana senilai Rp. 500.000,- yang dipinjamnya dahulu, dilipat-gandakan menjadi Rp. 1.000.000,- sebagai share modal di perusahaan itu.

Keduanya pun setuju untuk datang bersama ke notaris dan mengukuhkan akte pendirian perusahaan. Bertahun-tahun usaha itu berjalan, dan tahun lalu nilai saham yang semula hanya Rp. 1 juta rupiah sudah meningkat menjadi Rp. 500.000.000,- saya menyaksikan penyerahan sejumlah dana tersebut kepada para ahli waris sang penyandang dana, sepekan setelah beliau meninggal dunia.

Saya tidak sempat mengenal sang penyandang dana, tapi saya kenal betul dengan sang usahawan. Satu pertanyaan saya kepadanya : 'Nggak sayang uang sebegitu besar diberikan kepada orang lain. Dulu kan dananya nggak sebesar itu?'

'Jay. Tanpa modal awal Rp. 20.000,- di awal perjalanan usaha saya, usaha besar ini tidak akan pernah ada. Jadi, uang setengah milyar rupiah itu sama sekali tak ada harganya, jika dibandingkan dengan kesediaan beliau memodali usaha saya. Saya menyebutnya komitmen. Walau tak pernah disebut-sebut di awal, pantang bagi saya melupakan jasa beliau,' kata-katanya tegas.

'Bahkan saya minta kepada anak-anak saya, walaupun penyertaan saham ini sudah berakhir, hubungan baik harus tetap berlanjut. Jangan putuskan shilaturrahim,' sahabat saya menutup petuahnya.

Dimodali satu juta, komitmennya seumur hidup

 

Sumber :

Zainal Abidin Sidik

BERITA TERKAIT