Kok, Nggak Mau Jadi Petani

Selasa, 12 Juli 2022, 05:35 WIB

Mahasiswa Polbangtan Manokwari siap Menjadi Petani Milenial yang Maju, Mandiri, Modern | Sumber Foto:Polbangtan Manokwari

AGRONET -- Ada pertanyaan menarik terkait soal petani. Saat ini, profesi petani bukanlah status yang menjanjikan. Anak-anak kita hampir tidak ada lagi yang memiliki cita-cita untuk jadi petani. Mereka umum nya ingin jadi Presiden, pengusaha, dokter, polisi dan lain sebagai nya. Petani bukanlah pilihan mereka. Kita tidak tahu dengan pasti, mengapa mereka enggan jadi petani.

Apakah jadi petani sekarang tidak sekeren Presiden ? Apakah jadi petani tidak segagah Jendral Polisi ? Atau ada hal lain yang membuat posisi petani sangat tidak populer di benak anak-anak di era Milenial ini. Yang pasti, kalau kita sodorkan pilihan kepada abak-anak kita di sekolah Tanan Kanak Kanak, dijamin halal 100 %, petani tidak akan menjadi pilihan mereka.

Tidak hanya itu masalah yang kita hadapi. Kini sebagian besar anak muda perdesaan pun terpantau tidak tertarik lagi menjadi petani. Mereka lebih suka keluar dari desa dan memilih untuk mengadu nasib di perkotaan. Petani bukan lapangan pekerjaan yang mampu memberi jawaban terhadap keinginan dan kebutuhan kaum muda.

Di benak mereka, menjadi petani di negara agraris seperti Tanah Merdeka ini, hanyalah sebuah langkah untuk membenamkan diri dalam suasana hidup melarat. Petani bukan profesi untuk menuju kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Mereka tahu, menjadi petani identik dengan hidup dalam kemiskinan, kesengsaraan dan kemelaratan.

Atas gambaran yang demikian, lalu muncul pertanyaan lain, mengapa penilaian anak-anak dan kaum muda di era Milenial terhadap petani terkesan sangat buruk ? Ada apa sebetul nya dengan status petani di negeri ini ? Mengapa mereka seperti yang tidak memiliki kebanggaan bila berkiprah menjadi petani ?

Mengapa mereka seperti yang memandang sebelah mata terhadap petani ? Padahal, para petani inilah yang memberi makan orang-orang kota. Petani inilah yang menghantarkan bangsa ini mampu berswasembada beras tahun 1984 lalu. Petani benar-benar profesi yang sangat mulia.

Ironis nya, di tengah-tengah kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang hedonis dilengkapi dengan gaya hidup yang sofistikasi, ternyata nilai-budaya adiluhung yang kita miliki, seperti nya tidak dijadikan bahan pertimbangan oleh kaum muda dalam melakoni kehidupan di masa depan. Mereka sangat pragmatis.

Nilai-nilai idealisme seolah-olah kalah pamor oleh fakta kehidupan sehari-hari. Mereka lebih mengutamakan hal-hal yang realistik ketimbang yang berkaitan dengan hal yang ideal. Mereka tidak senang terhadap gambaran kehidupan yang seperti "mengecat langit", namun mereka lebih menyukai hal-hal yang bersifat "menapak bumi".

Akibat nya wajar, selama suasana petani dikesankan lewat romantisme masa lalu, jangan harap kaum Milenial akan menyukai nya. Sebab, kalau kita tengok kondisi yang tercipta saat ini, suasana kehidupan petani, benar-benar terekam sangat memprihatinkan dan tentu mengenaskan. Petani seperti yang cukup kesulitan untuk merubah nasib.

Jeratan kemiskinan yang melilit nya, betul-betul sangat sulit untuk dilepaskan. Masalah nya akan semakin menyayat hati manakala kita tengok kehidupan petani gurem (memiliki lahan sekitar 0,25 hektar) dan petani buruh (sama sekali tidak memiliki lahan pertanian). Mereka terpantau tidak pantas untuk menjadi warga bangsa yang merdeka.

Dengan potret diri petani seperti ini, sangatlah lumrah jika kaum Milenial lebih baik mencari peluang lain dalam mengarungi kehidupan nya. Kalau pun sekarang muncul istilah Petani Milenial, tapi hal semacam ini, lebih mengedepan sebagai retorika. Pertanyaan nya adalah apakah para Petani Milenial ini mau turun langsung ke sawah ?

Atau tidak, dimana mereka lebih menunggu di hilir setelah produksi dihasilkan ? Lalu, berapa banyak para Petani Milenial yang mau berkiprah di komiditas padi ? Ini yang butuh pendalaman. Sebab, berdasarkan pemantauan di lapangan, usahatani padi saat ini, ditengarai sudah kurang menguntungkan. Akibat nya wajar, bila para petani banyak yang beralih ke komoditas lain, seperti hortikultura.

Dari pada jadi petani, tentu akan lebih keren jadi pengusaha atau bergabung di Aparat Sipil Negara (ASN). Mereka dapat melihat secara kasat mata, profesi pengusaha dan ASN, terkesan dapat memberi jaminan bagi masa depan nya. ASN pasti dapat pensiun. ASN bisa menggadaikan SK Pegawai nya ke Bank untuk mencicil rumah. Hal ini sangat tidak mungkin dapat ditempuh oleh mereka yang berprofesi petani.

Catatan penting nya adalah apakah ada langkah atau terobosan cerdas yang dapat kita lakukan agar kaum Milenial ini secara sukarela mau berkiprah di desa dan menjadi petani padi, melanjutkan profesi orang tua nya ? Apakah kita perlu melahirkan sebuah "jaminan", bila ada anak bangsa yang mau bergelut dengan pertanian, khusus nya komoditas padi, maka kondisi kehidupan nya tidak akan sengsara ?

Dalam suasana kekinian, profesi petani, memang sudah harus berganti status. Kini, para petani tidak boleh lagi memposisikan diri sebagai "petani subsisten", namun sudah sepantas nya menjadikan diri nya sebagai "petani pengusaha". Bertani bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri atau keluarga semata, tapi bertani seharus nya mampu mendongkrak pendapatan sekaligus meningkatkan kesejahteraan kehidupan nya.

Inilah esensi petani pengusaha. Agar harapan ini terwujud, Pemerintah dituntut untuk terus melakukan penyuluhan kepada para petani, sehingga mereka dapat merubah perilaku nya ke arah yang senafas dengan keinginan diatas. Hingga sekarang, penyuluhan pertanian masih dianggap sebagai obat manjur untuk mempercepat tetwujud nya kesejahteraan dan kebahagiaan petani. Perpres 35/2022 tentang Penguatan Fungsi Penyuluhan Pertanian memberi isyarat, penyuluhan tetap dijadikan titik kuat dalam pembangunan pertanian di negara kita.

SUMBER : KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT